Artikel

Hal< 1 2 3 4 5 6 7 8 >
Total 8 hal
Apakah Hipnoterapi Bisa Berdampak Negatif?

Apakah Hipnoterapi Bisa Berdampak Negatif?

21 April 2020

Oleh: Dr. Dr. Adi W. Gunawan, ST., MPd., CCH®

Saya dapat pertanyaan dari seorang rekan, yang ditulis di kolom komentar FB saya, "Apakah jika seorang hipnoterapis yang gagal melakukan hipnosis dan hipnoterapinya itu akan berpengaruh atau berefek pada klien misalnya seperti pikiran dan perilakunya jadi agak berbeda begitu dari sebelum diterapi jadi kayak ada error pak Adi?"

Ini pertanyaan menarik dan sangat perlu dijawab. Dari pertanyaan di atas, ada dua aspek yang perlu ditelaah terkait dampak praktik hipnosis dan hipnoterapi. Pertama, apa yang terjadi pada klien, bila hipnoterapis gagal melakukan hipnosis pada klien. Kedua, apa yang akan terjadi bila hipnoterapis gagal dalam melakukan hipnoterapi pada klien.

Untuk kondisi pertama, hipnoterapis gagal menghipnosis klien, bisa timbul dua dampak, baik pada klien maupun hipnoterapis. Dampak pada hipnoterapis, ia merasa gagal, tidak mampu. Bila kejadian seperti ini berulang, hipnoterapis ini cepat atau lambat pasti berhenti praktik.

Sementara klien yang gagal dihipnosis bisa merasa ia orang yang sulit atau memang tidak bisa masuk kondisi hipnosis. Ini adalah satu kepercayaan yang salah, yang diadopsi oleh klien berdasar pengalamannya gagal dihipnosis. Kepercayaan ini selanjutnya menghambat klien untuk bisa dihipnosis oleh hipnoterapis lain.

Dampak negatif seperti perubahan perilaku yang tidak diharapkan, bila konteks bahasan hanya pada kegagalan induksi yang dilakukan hipnoterapis pada klien, tidak akan terjadi.

Proses menuntun klien masuk kondisi hipnosis disebut induksi. Klien bisa tidak berhasil masuk kondisi hipnosis. Klien juga bisa masuk kondisi hipnosis, baik di kondisi hipnosis dangkal, hipnosis menengah, hipnosis dalam, hipnosis ekstrim, dan kedalaman maksimal yang bisa dicapai klien adalah kondisi tidur. Proses hipnosis sendiri tidak akan berdampak negatif karena sejatinya kondisi hipnosis adalah kondisi pikiran rileks, tenang, nyaman.

Proses hipnosis bisa memunculkan dampak negatif bila saat klien "masuk" ke pikiran bawah sadarnya, ia jumpa memori-memori yang berasal dari pengalaman traumatik masa lalu, yang selama ini terepresi sehingga tidak diketahui atau tidak bisa diakses secara sadar.

Dan ini membawa kita pada bahasan pertanyaan kedua, mengenai dampak yang terjadi bila hipnoterapis gagal melakukan hipnoterapi pada klien.

Dalam dunia hipnoterapi, sejatinya ada dua mazhab: tidak memroses akar masalah dan memroses akar masalah. Mazhab hipnoterapi yang tidak memroses akar masalah hanya menggunakan sugesti untuk menyelesaikan masalah klien.

Proses hipnoterapinya sangat sederhana. Pertama, hipnoterapis akan melakukan wawancara pada klien. Selanjutnya, hipnoterapis melakukan induksi, menuntun klien berpindah dari kondisi kesadaran normal ke kondisi pikiran rileks, kondisi hipnosis. Setelah klien berhasil dituntun masuk kondisi hipnosis, hipnoterapis akan memberi "obat" berupa sugesti untuk mengatasi masalah klien. Setelahnya klien dituntun keluar dari kondisi hipnosis kembali ke kondisi sadar normal. Proses terapi biasanya berlangsung antara 15 hingga 30 menit.

Proses terapi berbasis sugesti ini seringkali gagal mengatasi masalah klien karena dua hal utama: klien tidak berhasil dibimbing masuk ke kedalaman hipnosis yang sesuai untuk tujuan terapeutik, atau hipnoterapis tidak mampu menyusun sugesti yang tepat, mengikuti kaidah penyusunan skrip yang benar, untuk mengatasi masalah klien. Bisa terjadi, hipnoterapis tidak cakap menghipnosis klien dan sekaligus juga tidak cakap menyusun skrip sugesti.

Proses hipnoterapi berbasis sugesti ini bisa mengakibatkan salah satu dari tiga kemungkinan. Pertama, klien sama sekali tidak terpengaruh, masalahnya tidak berhasil diatasi. Kedua, masalah klien berhasil diatasi, klien sembuh. Ketiga, akibat hipnoterapis tidak kompeten menyusun skrip, tanpa ia sadari, skrip yang diberikan pada klien bersifat tidak ekologis dan justru mengakibatkan dampak negatif.

Mazhab hipnoterapi yang memroses akar masalah mensyaratkan hipnoterapis memiliki kompetensi tinggi, mulai dari wawancara mendalam, melakukan induksi dan tahu indikator kedalaman hipnosis yang dicapai klien, menguasai dan mampu mempraktikkan teknik-teknik spesifik untuk mencari, menemukan, dan memroses tuntas akar masalah, melakukan uji hasil terapi, dan mengakhiri sesi terapi setelah memastikan hasil terapi yang dilakukan benar telah terjadi, disetujui, dan diterima sepenuhnya oleh pikiran bawah sadar klien.

Sama seperti hipnoterapi berbasis sugesti, ada tiga kemungkinan yang bisa terjadi bila menggunakan pendekatan hipnoterapi mazhab berbasis penyelesaian akar masalah. Kemungkinan pertama, masalah klien tidak berhasil diatasi. Kemungkinan kedua, masalah klien berhasil diatasi, klien sembuh. Dan kemungkinan ketiga, hipnoterapis salah dalam melakukan proses terapi, mengakibatkan kondisi klien bukannya membaik malah semakin parah, dan dalam kondisi tertentu bisa berakibat fatal.

Beberapa kemungkinan kesalahan yang bisa terjadi dalam proses terapi berbasis penyelesaian akar masalah antara lain hipnoterapis menentukan akar masalah klien secara sepihak, bukan berdasar proses hipnoanalisis mendalam.

Kesalahan berikutnya yang mungkin terjadi, hipnoterapis tidak cakap menangani abreaksi atau luapan emosi (katarsis) sehingga berbahaya bagi keselamatan klien yang mengalami penyakit seperti hipertensi, sakit jantung, asma, pasca-stroke, klien wanita yang sedang hamil, cerebral palsy, diabetes, epilepsi.

Hipnoterapis yang tidak kompeten juga bisa salah dalam melakukan "leading" sehingga tercipta memori palsu (false memory) yang diterima klien sebagai pengalaman riil masa lalu. Memori palsu ini selanjutnya memengaruhi hidup klien.

Satu kegagalan yang sering dijumpai pada banyak proses terapi yang dilakukan hipnoterapis yang melakukan pencarian akar masalah adalah mereka mengarahkan klien, sejak dari awal sesi terapi, untuk menerima kenyataan bahwa akar masalah klien terjadi di kehidupan lampau.

Hipnoterapis melakukan regresi dan "berhasil" menemukan akar masalah. Namun hipnoterapis tidak memroses tuntas akar masalah ini. Klien hanya diberitahu bahwa masalah hidup mereka di masa sekarang bersumber dari akar masalah ini. Dengan klien mengetahui akar masalah ini diharapkan klien mendapat pemahaman dan masalahnya selesai dengan sendirinya.

Pada kenyataannya, tidak seperti ini. Akar masalah, terlepas dari ia ditemukan melalui proses regresi yang benar, atau ia sudah ditentukan oleh hipnoterapis sejak awal terapi, harus diproses tuntas. Mencari dan menemukan akar masalah adalah satu hal. Memroses tuntas sehingga emosi negatif pada kejadian ini berhasil dinetralisir adalah hal lain.

Menemukan akar masalah tanpa memroses tuntas akar masalah ibarat dokter bedah, membuka perut pasien, menemukan bahwa umbai cacing pasiennya bermasalah, kemudian dokter memberitahu situasi ini pada pasien, setelahnya pasien diminta bangun dan pulang tanpa mengangkat umbai cacing yang bermasalah dan menjahit bukaan perut akibat pembedahan. Ini sangat berbahaya.

Dokter bedah melakukan pembedahan, "membuka" tubuh pasien untuk mengatasi masalah atau mengkoreksi kondisi fisik tertentu. Hipnoterapis klinis melakukan "pembedahan" psikis, "membuka" pikiran bawah sadar klien, menemukan dan menyelesaikan akar masalah klien.

Baik dokter bedah maupun hipnoterapis klinis, keduanya harus memiliki kompetensi tinggi sesuai bidangnya agar dapat bekerja efektif, efisien, dan aman dalam membantu orang yang butuh pertolongan. Ini hanya bisa dicapai melalui proses pendidikan terstruktur, dengan standar tinggi, dan masa pendidikan yang seturut dengan tingkat kompetensi yang hendak dicapai.

Coronaphobia dan Psikosomatis Covid-19

Coronaphobia dan Psikosomatis Covid-19

25 Maret 2020

Oleh: Dr. Dr. Adi W. Gunawan, ST., MPd., CCH®

Saya dihubungi beberapa calon klien yang minta waktu jumpa saya untuk menjalani sesi terapi. Kata mereka ini kondisi mendesak dan minta agar mereka bisa segera jumpa saya.

Saya tanya, apa masalahnya, ternyata mereka rata-rata mengalami perasaan takut, cemas, yang berakibat pada kondisi pikiran tidak tenang, hati tidak damai, dan sulit tidur.

Saya tanya lagi, mulai kapan gangguan emosi ini muncul atau mereka alami, hampir semua menjawab mereka mengalami kecemasan tinggi sejak ramai diberitakan tentang virus corona (Covid-19).

Bahkan ada tiga calon klien yang mengaku mengalami gejala serupa dengan Covid-19 seperti flu, batuk kering, tenggorokan sakit, dan demam.

Saya tanya lagi, apakah mereka ada keluar rumah, ke tempat ramai, kumpul-kumpul sama teman, bersalaman atau berdekatan dengan orang yang mengalami Covid-19 atau orang dalam pengawasan, dan semua menjawab tidak.

Mereka bahkan mengatakan bahwa sudah dua minggu lebih mereka tidak ke mana-mana, hanya istirahat dan melakukan kegiatan dari rumah.

Saya tanya lagi, apakah mereka rutin atau sering baca informasi atau berita, baik itu dari media massa seperti televisi, surat kabar, atau dari media sosial, terutama dari grup percakapan seperti WA atau Telegram, dan mereka semua menjawab ya. Sekarang jelas duduk persoalan dan akar masalahnya.

Saya mohon maaf karena belum bisa jumpa mereka. Saat ini saya dan semua hipnoterapis AWGI, untuk sementara waktu, berhenti total melakukan terapi. Ini untuk kebaikan bersama dan mematuhi himbauan pemerintah untuk melakukan social/physical distancing untuk meredam penyebaran Covid-19.

Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi hal ini?

Saya beri mereka beberapa saran dan masukan. Pertama, mereka berhenti total membaca atau mencari informasi atau meneruskan informasi terkait Covid-19.

Tidak ada gunanya untuk hidup mereka dengan mengetahui sudah berapa banyak orang yang terkena Covid-19, berapa yang meninggal, dan berapa yang sembuh.

Saya minta mereka berhenti total membaca atau mencari informasi atau meneruskan informasi terkait Covid-19 minimal selama dua minggu dan setelahnya mereka bisa beri laporan perkembangan yang dialami.

Kedua, saya sarankan mereka untuk banyak membaca buku-buku positif, nonton film atau video yang lucu, karaoke, senam atau olahraga, rileksasi atau meditasi, berdoa, atau apa saja yang positif dan bisa membuat pikiran dan perasaan mereka tenang dan bahagia.

Cukup sudah kita menebar dan menyebar informasi terkait virus corona (Covid-19) di media sosial dan grup percakapan seperti WA atau Telegram yang justru semakin menguatkan berbagai emosi negatif seperti takut, khawatir, cemas, merasa tidak berdaya, dll.

Sekarang waktunya kita melawan virus corona (Covid-19) dengan berpikir positif dan merasakan emosi positif, mengirimkan vibrasi positif untuk diri sendiri dan lingkungan, menyebar informasi yang sifatnya meneduhkan, menenangkan untuk kebaikan diri sendiri dan bersama.

Lalu, bagaimana sampai orang mengalami psikosomatis Covid-19?

Informasi masuk ke pikiran bawah sadar melalui lima jalur:

1. Otoritas : informasi, benar atau salah, yang disampaikan oleh figur otoritas pasti dengan mudah masuk dan diterima oleh pikiran bawah sadar (PBS) sebagai kebenaran.

2. Emosi : setiap informasi yang diterima individu, bila disertai emosi intens, baik positif atau negatif, akan dicatat oleh PBS sebagai sesuatu yang penting.

3. Repetisi : informasi serupa bila terus diulang, dilihat, dibaca, dibicarakan, diingat, dibayangkan, atau didengarkan pasti masuk ke memori PBS.

4. Identifikasi Kelompok: saat informasi ini diterima atau dinyatakan benar oleh satu kelompok atau komunitas, setiap anggota kelompok ini menerimanya sebagai kebenaran.

5. Relaksasi pikiran : saat pikiran rileks, sore atau malam hari saat mau tidur, atau pagi hari saat baru bangun tidur, bila kita membaca, mendengar, menonton tayangan atau informasi tertentu, informasi ini langsung masuk ke PBS tanpa bisa disaring oleh faktor kritis pikiran sadar.

Informasi tentang Covid-19, benar atau salah, yang telah terekam di PBS, tidak akan pernah bisa hilang. Informasi ini akan terus ada di memori sampai dilakukan upaya secara sadar untuk mengganti informasi ini dengan informasi lain.

Semakin seseorang membaca dan mengingat gejala-gejala Covid-19, semakin ia mengulang memunculkan informasi ini di pikirannya, semakin kuat informasi ini jadinya, dan semakin ia terpengaruh.

Ia menjadi semakin cemas dan takut. Disadari atau tidak, ia akan memeriksa kondisi fisiknya, apakah ada gejala yang sama atau menyerupai Covid-19. Ini sesungguhnya adalah hal yang wajar karena semua orang pasti ingin selamat, ingin tetap hidup. Dan fungsi utama PBS adalah melindungi dan menjaga keselamatan hidup kita.

Semakin ia melakuan pengecekan, semakin PBS mendapat informasi bahwa ini adalah sesuatu yang penting. Dan sesuai hukum pikiran, apa yang menjadi fokus pasti bertumbuh dan menguat. Ini menjadi semakin kuat saat dilandasi emosi negatif intens.

Akhirnya, PBS memunculkan simtom atau gejala yang sama atau serupa dengan gejala Covid-19. Saat ini terjadi, individu menjadi semakin cemas, takut, panik, dan gejalanya menjadi semakin nyata, semakin kuat.

Semakin ia cemas atau takut, semakin stres ia, semakin banyak hormon stres diproduksi oleh tubuhnya, dan semakin tertekan kerja sistem imun, dan semakin besar kemungkinan ia jatuh sakit, semakin besar risikonya bila ia benar-benar terpapar virus corona.

Virus corona belum tentu mengenai semua orang. Namun saat ini hampir semua orang sudah tertular virus pikiran yang membuat mereka cemas, khawatir, takut, paranoid.

Sekarang saatnya kita bangkit bersama melawan virus corona. Lakukan apapun yang bisa kita lakukan untuk menghambat kemungkinan virus corona semakin tersebar.

Dan berlakulah CERDAS dan BIJAK. Sebarkan hanya berita-berita positif. SARING sebelum SHARING.

Analisis Kasus dan Strategi Membantu Anak Tantrum

Analisis Kasus dan Strategi Membantu Anak Tantrum

18 Februari 2020

Oleh: Dr. Dr. Adi W. Gunawan, ST., MPd., CCH®

Saya dapat pertanyaan dari salah satu peserta SECH, sebut saja sebagai Ibu Wati, psikolog klinis, cara menangani kasus anak usia 10 tahun yang mudah terpicu emosinya dan tantrum. Saat tantrum, anak ini berperilaku seperti individu berusia sekitar satu tahun.

Untuk bisa membantu anak ini, saya jelaskan pada para peserta, kita perlu memahami terlebih dahulu apa yang sebenarnya terjadi di pikiran bawah sadar (PBS) menggunakan teori dan paradigma yang diajarkan di kelas SECH.

Tantrum adalah ledakan emosi pada individu disertai sikap dan perilaku seperti keras kepala, menjerit, menangis, sulit atau menolak untuk ditenangkan. Seringkali, walau kemauan individu ini telah dipenuhi, perilaku tantrumnya terus berlanjut. 

Tantrum, dari perspektif AWGI, adalah salah satu bentuk abreaksi, luapan emosi, untuk melepas tekanan dalam pot mental individu. Di bawah pot mental ini ada api emosi yang telah membakar pot dalam waktu cukup lama. Saat ada tambahan api, walau hanya sedikit (baca: ada kejadian yang memicu emosi negatif tertentu), tekanan dalam pot mencapai titik kritis dan membahayakan keutuhan pot mental (baca: sistem psikis).

Sebagai upaya pencegahan agar pot mental tidak pecah dan meledak, PBS membuat satu atau beberapa lubang untuk mengeluarkan uap dari dalam pot. Uap ini adalah simtom atau gejala yang tampak dalam bentuk pemikiran, ucapan, dan perilaku atau tindakan tertentu. Dalam kasus anak ini, tantrum adalah simtom.

Simtom bukan masalah. Simtom adalah ekspresi masalah. Simtom adalah pesan dari PBS. Simtom perlu diakui, diterima, dan dimengerti. Simtom adalah petunjuk untuk menemukan solusi.

Dalam kasus anak tantrum, dari perspektif teori yang diajarkan di kelas SECH, masalah yang harus diselesaikan adalah mencari dan menemukan api yang membakar pot mental anak, dan selanjutnya memadamkan api ini. Saat api padam, pot mental dengan sendirinya menjadi dingin dan tidak lagi ada uap yang keluar dari lubang. Dan kalaupun ada api (baca: emosi) baru yang terpicu karena sesuatu hal, anak tidak langsung tantrum karena tekanan dalam pot mentalnya belum atau tidak mudah mencapai titik kritis.

Untuk menemukan akar masalah pada anak usia 10 tahun bisa dilakukan dengan wawancara mendalam dengan kedua orang tua atau pengasuh utama anak. Bila upaya ini tidak membuahkan hasil, barulah terapis menggunakan teknik hipnoanalisis.

Mengingat usia anak masih sangat muda, sumber api emosi anak biasanya berasal dari orang tua dan lingkungan. Penelusuran sumber emosi dalam diri anak diawali dengan bertanya tentang kondisi pikiran dan emosi ibunya sangat mengandung anak ini.

Dari pengalaman dan temuan di ruang praktik, saat anak masih di dalam kandungan ibu, sebagai janin, ia terpapar emosi, baik positif maupun negatif, yang ibunya alami dan rasakan.  Janin menyerap emosi ini dan menyimpannya di memori PBS. Emosi negatif adalah api yang membakar pot mental si anak.

Bila selama ibu mengandung tidak ada masalah emosi, penelusuran dilanjutkan dengan mencari tahu apakah ada kejadian traumatik yang anak alami dalam proses tumbuh kembang dari sejak lahir hingga usia 10 tahun.

Semua informasi yang diperoleh dari hasil penelusuran ini dicatat rapi sebagai bahan pertimbangan untuk menetapkan strategi terapi yang akan diterapkan dalam membantu anak mengatasi masalahnya.

Setelah mendengar uraian saya ini, Ibu Wati menambahkan bahwa anak ini bukan anak kandung tapi anak adopsi. Saat masih bayi, ia ditemukan di keranjang sampah dan diadopsi ke dalam keluarganya saat ini. Rupanya, anak ini dibuang oleh ibu kandungnya setelah dilahirkan.

Berdasar informasi tambahan ini kita dapat dengan sangat gamblang menjelaskan asal mula emosi dalam diri si anak. Yang pasti, ia adalah anak yang tidak diinginkan oleh ibunya sehingga dibuang di keranjang sampah sesaat setelah dilahirkan. Sudah tentu anak ini marah, kecewa, sakit hati, sangat terluka karena ia ditolak dan sengaja hendak dibunuh oleh ibunya.

Besar kemungkinan ia adalah hasil hubungan yang tidak "lazim" antara ibunya dengan pria yang seharusnya menjadi ayahnya. Ibunya bisa saja stres berat kronis saat mengandungnya. Mengingat PBS telah aktif sejak terjadi pembuahan maka apapun yang dialami dan dirasakan si ibu juga dirasakan oleh janin dan semuanya terekam di memori PBS janin.

Anak ini mudah terpicu emosinya dan setelahnya, ia tantrum. Saya jelaskan bahwa ada lima syarat yang harus dipenuhi agar suatu peristiwa direkam di PBS sebagai pengalaman traumatik, yaitu memori disertasi emosi negatif intens.

Kelima syarat ini adalah ada peristiwa yang memunculkan emosi negatif (intens), peristiwa ini bermakna bagi individu, senyawa kimiawi otak pada momen kejadian mendukung, individu merasa terperangkap, dan individu merasa tidak berdaya. Salah satu saja dari kelimat syarat ini tidak terpenuhi, trauma tidak bisa terjadi. Dengan demikian, strategi terapi ditujukan untuk meniadakan salah satu atau beberapa syarat trauma.

Saat individu mengalami emosi negatif intens seperti marah, cemas, atau takut, secara instingtif tubuh masuk ke mode lawan atau lari (fight - flight) dan memproduksi adrenalin guna menyiapkan individu menghadapi bahaya atau apapun yang dipersepsikan sebagai bahaya.

Keberadaan adrenalin mengakibatkan otak menjadi sangat fokus untuk mengamati dan merekam semua data atau informasi pada momen peristiwa ini. Yang direkam adalah data visual (gambar atau warna), auditori (suara), kinestetik (sensasi fisik atau perasaan), olfaktori (aroma atau bau), dan gustatori (rasa).

Rekaman data ini selanjutnya digunakan sebagai acuan agar individu, di masa depan, berhati-hati dalam menjalani hidup. Data ini berfungsi sebagai sistem peringatan dini agar individu tidak mengalami lagi kejadian serupa atau sama dengan yang dulu ia alami. Dan ini adalah fungsi utama PBS yaitu melindungi keselamatan individu dari hal-hal yang ia (PBS) pandang, rasa, nilai, persepsikan, yakini berbahaya atau merugikan individu.

Selanjutnya, kapanpun atau setiap kali individu jumpa data (stimulus/i) yang sama atau serupa dengan data di PBS, yang berasal dari kejadian traumatik, stimulus/i ini mengaktifkan pola reaktif di PBS.

Dalam kasus anak ini, sesuatu di lingkungannya, bisa berupa benda, gambar, wajah orang, warna,  suara, sentuhan, bau atau rasa tertentu menjadi pemicu mengaktifkan memori traumatik dan memunculkan emosi negatif dalam dirinya.

Setiap kali pola reaktif dalam diri si anak terpicu, ia mengalami emosi negatif intens dan emosi ini selanjutnya terakumulasi di dalam sistem psikisnya, mengakibatkan kondisinya menjadi semakin rentan dan tidak stabil.

Dari cerita Ibu Wati, saat anak ini tantrum, ia berperilaku seperti individu berusia satu tahun, dapat disimpulkan bahwa emosi yang membuat ia tantrum juga mengakibatkan terjadi regresi spontan ke usia satu tahun.  Jadi, yang tantrum sesungguhnya adalah anak satu tahun (inner child) mengekspresikan emosinya menggunakan tubuh anak berusia 10 tahun. Inner child ini mengalami fiksasi dan tidak bertumbuh.

Upaya terapi yang dapat dilakukan untuk membantu anak mengatasi masalah tantrum, berdasar uraian di atas adalah, pertama, bila ibu kandungnya bisa dijumpai, terapis membantu menetralisir emosi negatif dalam diri ibunya saat mengandung anak ini. Ini penting dilakukan karena keterhubungan batin antara ibu dan anak pasti berdampak pada anak. Kedua, terapis menetralisir emosi negatif pada kejadian paling awal (akar masalah) dalam diri anak. Ketiga, melakukan modifikasi pada copaste ibu menjadi copaste ibu ideal. Keempat, bila dibutuhkan, terapis menumbuhkembangkan inner childyang mengalami fiksasi di usia satu tahun, dan kelima, terapis menetralisir pola reaktif di PBS anak sehingga stimulus/i yang sama atau serupa dengan data di PBS anak, tentang kejadian traumatik yang ia alami dulu, tidak lagi bisa memicu munculnya emosi negatif. Dan keenam, lingkungan anak, terutama keluarga inti, memberi dukungan penuh, perhatian, dan kasih sayang yang anak butuhkan sehingga ia merasa aman.  

Strategi dan teknik untuk melakukan terapi seperti dijelaskan di atas, diajarkan secara detil, runtut, diperjelas dengan latihan, dan empat terapi klien di depan kelas, disaksikan semua peserta.

Pseudo-ISE, ISE, dan Hipnoterapi Mazhab AWGI

Pseudo-ISE, ISE, dan Hipnoterapi Mazhab AWGI

4 Desember 2019

Oleh: Dr. Dr. Adi W. Gunawan, ST., MPd., CCH®

Dalam dunia hipnoterapi sejatinya dikenal dua mazhab utama: hipnoterapi berbasis sugesti dan hipnoterapi berbasis hipnoanalisis.

Sesuai namanya, hipnoterapi berbasis sugesti lebih mengutamakan penggunaan sugesti dalam upaya membantu klien mengatasi masalah. Mazhab ini berkembang pesat di pantai timur Amerika. Sementara hipnoterapi berbasis hipnoanalisis lebih mengutamakan pencarian akar masalah menggunakan beragam strategi atau teknik. Mazhab ini berkembang pesat di pantai barat Amerika, terutama daerah California.

Semula saya belajar hipnoterapi mazhab pantai timur Amerika. Berhubung saya menginginkan sesi terapi yang lebih singkat dan hasil terapi yang lebih stabil untuk jangka panjang, saya putuskan mendalami hipnoterapi mazhab pantai barat Amerika yang lebih kompleks dan sulit namun lebih lengkap dari sisi teknik.

Di awal karir saya sebagai hipnoterapis klinis, setelah selama tiga tahun mencoba banyak teknik atau strategi, akhirnya saya memutuskan menggunakan dan mengembangkan hanya dua teknik terapi utama, dalam konteks hipnoanalisis, untuk mencari, menemukan, memroses dan merekonstruksi akar masalah klien.

Saya juga membangun teori sendiri tentang pikiran bawah sadar (PBS). Selanjutnya, materi state of the art dan the cutting edge teknologi pikiran ini diajarkan detil dan mendalam di kelas SECH.

Saya juga mengajarkan satu postulat sangat penting yang menjadi pedoman segenap hipnoterapis AWGI dalam praktik mereka. Postulat ini menyatakan bahwa tidak ada satupun pihak yang bisa mengungkap atau menunjukkan atau menentukan akar masalah klien kecuali dan hanya pikiran bawah sadar klien sendiri.

Berdasar postulat ini, hipnoterapis AWGI tidak bisa dan tidak boleh menentukan akar masalah klien hanya melalui sesi wawancara dengan klien saat klien dalam kondisi sadar normal, atau berdasar kisah yang disampaikan atau diyakini klien atau yang disampaikan keluarga klien sebagai akar masalah.

Apapun yang disampaikan oleh klien perlu dicatat untuk diperhatikan. Namun, hanya melalui proses hipnoanalisis yang benar, sesuai protokol yang diajarkan di kelas SECH, akar masalah klien bisa ditemukan atau terungkap.

Akar masalah adalah kejadian paling awal yang menjadi dasar muncul atau terciptanya simtom. Secara teknis kami menamakannya Initial Sensitizing Event atau ISE.

Simtom bisa muncul segera setelah kejadian tunggal yang sekaligus adalah ISE. Simtom juga bisa muncul setelah ISE yang diikuti oleh satu atau beberapa kejadian lanjutan yang kami namakan Subsequent Sensitizing Event (SSE).

Dalam laporan kasus yang dikirim oleh para peserta SECH, ada peserta yang menemukan, lebih tepatnya menentukan, "akar masalah" (ISE) klien hanya berdasar cerita kliennya, dalam kondisi sadar normal. 

Ia mencatat kejadian ini dan saat proses terapi, ia meregresi klien langsung menuju ke "ISE". Proses pencarian dan penemuan ISE seperti ini tidak dibenarkan karena melanggar protokol yang diajarkan di kelas SECH. Dan bagi kami, ini adalah masalah serius dan pelanggaran berat protokol AWGI.

Dari pengalaman selama ini, sungguh sangat jarang terjadi akar masalah, yang berhasil diungkap melalui proses hipnoanalisis, sama dengan yang diceritakan atau diyakini klien saat sesi wawancara mendalam (anamnesa eksploratif).

Apakah klien bisa sembuh dengan cara di atas?

Ada beberapa yang sembuh, tapi banyak yang hanya sembuh sementara, setelahnya kambuh lagi. Biasanya, klien sembuh walau "ISE"-nya salah karena kejadian ini berisi muatan emosi negatif (sangat) intens.

Saat emosi negatif intens yang lekat pada memori kejadian ini diproses, terjadi "Efek Tarikan" atau "Pull Effect", ini adalah terminologi yang saya ciptakan sendiri untuk menerangkan apa yang terjadi, yang tanpa terapis atau klien sadari ternyata turut menarik dan membersihkan emosi negatif pada kejadian paling awal (ISE).

Saya menamakan "ISE" yang ditentukan oleh pikiran sadar klien atau terapis, yang sesungguhnya bukan ISE, walau ternyata saat diproses klien sembuh, sebagai pseudo-ISE. 

Berkenaan dengan proses terapi yang dilakukan para hipnoterapis AWGI, sejatinya kami kini mempraktikkan hipnoterapi yang berbeda dari baik mazhab pantai timur maupun pantai barat Amerika.

Hipnoterapi yang kami praktikkan menggunakan protokol, pendekatan, strategi, dan teknik-teknik terapi yang dikembangkan, disempurnakan, atau diciptakan berlandaskan teori (grounded theory) yang dibangun di AWGI. Hipnoterapi yang kami praktikkan khas AWGI dan bersifat eklektik integratif. Saya menamakannya mazhab AWGI.

Joker

Joker

31 Oktober 2019

Oleh: Dr. Dr. Adi W. Gunawan, ST., MPd., CCH®

Saya dapat permintaan dari beberapa sahabat untuk mengulas film Joker dari sisi keilmuan hipnoterapi. Untuk memenuhi permintaan para sahabat ini, sore ini saya menonton film Joker bersama keluarga.

Usai film Joker, saat hendak keluar dari gedung bioskop, saya agak kaget karena menemukan ada dua wanita muda menonton film ini sambil membawa anak perempuan mereka yang masih kecil, berusia 3 tahun.

Film Joker menurut saya biasa saja. Saya lebih tertarik mengulas risiko anak kecil, usia 3 tahun, menyaksikan film dengan adegan kekerasan yang cukup brutal.

Ada risiko sangat besar yang mungkin tidak diketahui para orang tua yang membiarkan anak mereka menyaksikan film berisi adegan kekerasan.

Beberapa tahun lalu saya menangani klien anak SMA kelas 3, berusia 18 tahun, sebut sebagai Budi. Budi datang dari negeri jiran dan mengalami masalah serius. Ia sudah ditangani penyembuh profesional di luar negeri, diberi obat namun selama tiga bulan tidak kunjung teratasi masalahnya.

Masalah Budi adalah ia sering tertawa sendiri terbahak-bahak sambil menengadahkan kepalanya. Budi juga mudah marah dan meledak. Budi marah kepada pihak otoritas dan hendak membunuh kepala negara tempat ia berdiam.

Dari sesi wawancara mendalam saya mendapatkan data bahwa Budi, selama kelas 1 dan 2 SMA, sering dirundung (bully) oleh teman-teman dan juga guru di sekolahnya.

Kedua orang tua Budi sibuk bekerja dan tidak ada waktu untuk mendengarkan keluh kesah Budi. Budi memendam kemarahan, rasa sakit, kecewa, dan terluka yang ia alami selama beberapa tahun ini, hingga suatu hari Budi dan teman-temannya menyaksikan film The Clown. Dalam film ini The Clown juga disakiti, dirundung oleh orang-orang di sekitarnya. The Clown akhirnya marah dan membunuh semua orang yang menyakiti dirinya.

Tanpa disadari, Budi mengidentifikasi dirinya dengan The Clown. Dan tanpa ia kehendaki, di dalam pikiran bawah sadar (PBS) Budi muncul ego personality (EP) The Clown.

Setiap kali EP The Clown ini aktif, ia mengambil alih kesadaran Budi dan sepenuhnya menguasai tubuh Budi sebagai media ekspresi dirinya. Untuk lebih memahami tentang ini, pembaca saya sarankan membaca artikel Aktivasi Ego Personality, Klien, dan Host di https://bit.ly/35PYhVg.

Dari perspektif teori Ego State (ES), seperti yang digagas oleh Paul Federn (1952), ego state atau Bagian Diri tercipta saat usia dini. Sementara menurut Watkins dan Watkins (1997) formasi atau pembentukan/penciptaan ES melalui salah satu dari tiga cara: tercipta secara alamiah (normal differentiation), trauma, dan introjeksi dari orang-orang penting atau berpengaruh bagi individu.

Data dan temuan lanjutan menyatakan ES benar dapat tercipta melalui pengalaman traumatik (Putnam, 1989; Ross, 1993). Dalam situasi tertentu bisa tercipta ES yang bersifat membantu individu (Frederick dan Kim, 1993; Gainer, 1993, 1997; Frederick, Sheltren, dan Toothman, 2000).

Temuan kami, para hipnoterapis AWGI yang secara intensif melakukan praktik teknik-teknik terapi berbasis Ego Personality (EP), kami menyebut ES sebagai EP, sejak tahun 2005 hingga saat ini, terdapat 10 (sepuluh) cara lain EP tercipta (Gunawan, 2017), di samping tiga cara yang telah disampaikan oleh Watkins dan Watkins (1997).

Salah satu cara EP tercipta yang kami temukan adalah melalui proses belajar, baik secara visual, auditori, dan atau kinestetik. The Clown adalah EP yang tercipta di dalam PBS Budi melalui cara ini. Saya menamakan EP ini sebagai Phantom.

Anak kecil yang menyaksikan film Joker lebih berisiko daripada orang dewasa. Saat anak masih kecil, pikiran sadarnya belum aktif atau belum kuat. Dengan demikian anak sepenuhnya beroperasi di PBS. Apapun yang ia lihat, dengar, dan rasakan sepenuhnya terekam dengan sangat kuat, apa adanya, di PBS-nya, tanpa bisa ia saring. Dan bisa jadi, EP Joker ini suatu saat akan terpicu dan aktif. Ini tentu sangat berisiko.

Pengalaman saya menangani Budi cukup menegangkan namun juga sangat membelajarkan. Budi tahu keberadaan EP The Clown. Namun setiap kali EP The Clown aktif, EP ini mengambil alih kendali dan kesadaran Budi. Apa yang The Clown lakukan, Budi sama sekali tidak tahu.

Aktivasi Ego Personality, Klien, dan Host

Aktivasi Ego Personality, Klien, dan Host

17 Oktober 2019

Oleh: Dr. Dr. Adi W. Gunawan, ST., MPd., CCH®

Akhir September 2019 lalu, di Medan, saat membawakan materi pelatihan sehari The Heart Technique® (THT) untuk penyembuh profesional, saya sempat membantu salah satu peserta, sebut saja sebagai Ani. Ani menderita asma sejak kecil. Ani juga kerap masuk IGD karena asmanya sering kambuh dan mengakibatkan ia sesak napas.

Saya melakukan wawancara dan mencermati kondisi Ani dengan sangat hati-hati. Saya tentu menghindari Ani mengalami sesak napas sehingga harus dilarikan ke rumah sakit dalam proses terapi yang akan saya lakukan. Berdasar hasil anamnesa eksploratif, saya putuskan kondisi Ani terlalu berat dan tidak bisa diterapi menggunakan THT.

THT butuh mengakses emosi untuk selanjutnya emosi ini diproses tuntas. Masalahnya, setiap kali Ani mengingat kejadian spesifik yang hendak diakses, emosinya langsung memuncak dan ia sesak napas. Semakin intens emosinya, semakin sesak napasnya.

Akhirnya saya menerapi Ani, di depan kelas, menggunakan Ego Personality Technique (EPT). Saya sengaja lakukan ini, menerapi Ani menggunakan EPT, untuk menunjukkan kepada para peserta modalitas terapi lain, selain THT, yang saya praktikkan dan ajarkan di kelas Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy (SECH).

Dari proses hipnoterapi yang saya lakukan pada Ani, saya menemukan ada ego personality (EP) Ani kecil, berusia 5 tahun, yang menyimpan emosi marah pada seseorang dari kejadian masa kecilnya. Saat Ani mengingat kejadian ini, dadanya langsung sesak, ia sulit bernapas dan asmanya hampir kambuh.

Melalui pengamatan pada pola bahasa dan respon fisik, saya tahu bahwa saat Ani dewasa mengingat kejadian di usia 5 tahun dan merasakan munculnya emosi marah di dadanya, pada saat itu yang sebenarnya terjadi adalah ada satu EP berusia 5 tahun (inner child), menjadi aktif atau eksekutif, dan EP 5 tahun ini menguasai tubuh Ani dewasa (host). Aktivasi EP 5 tahun beserta emosi marah yang sangat intens yang ia pegang selama ini mengakibatkan tubuh fisik Ani dewasa (host) terpengaruh dan menjadi sesak napas.

Saya memroses EP 5 tahun menggunakan teknik spesifik, memisahkan EP 5 tahun dan Ani dewasa, meredakan emosi marah pada EP 5 tahun, agar tubuh fisik Ani dewasa tetap dapat beroperasi normal, tidak sesak napas, sehingga dapat saya proses tuntas.

Dalam waktu singkat, emosi marah sangat intens pada EP 5 tahun berhasil dinetralisir. Saat saya minta Ani dewasa untuk mengingat kembali kejadian di usia 5 tahun, ia merasa biasa saja, tidak lagi ada emosi marah seperti sebelumnya. Demikian pula saat saya minta Ani 5 tahun melakukan hal yang sama, mengingat kejadian itu, hasilnya netral, emosinya datar.

EP Eksekutif dan Host (Induk Semang)

Dalam keseharian, setiap individu umumnya butuh antara 5 hingga 7 EP untuk menjalankan hidup secara normal. EP-EP ini aktif by default, aktif bergantian sesuai situasi, kondisi, kebutuhan, dan mengendalikan diri individu dan adalah individu. EP-EP ini berada atau tinggal di permukaan (surface) dan tidak membutuhkan kendali EP Pengendali (EP CEO) untuk aktif bergantian. Selain EP permukaan, juga ada EP-EP underlying yang tinggal di kedalaman pikiran bawah sadar (PBS). Untuk mengakses EP-EP ini dibutuhkan kondisi hipnosis dan atau teknik tertentu.

Untuk mudahnya, EP adalah “manusia” yang ada di dalam diri kita. Setiap EP, karena ia adalah “manusia” yang tercipta melalui proses tertentu, memiliki kesadaran, pikiran, pola pikir, emosi, sikap, kebiasaan, memori, keinginan, energi, kekuatan, pengetahuan, dan tujuan.

Kita memiliki banyak EP. Dan kita tidak tahu berapa jumlah EP yang ada dalam diri kita. Tidak ada satupun literatur yang pernah saya baca dan pelajari, termasuk pendapat dan pemikiran para pakar hipnoterapi klinis dari berbagai masa, yang secara gamblang menyatakan jumlah atau perkiraan jumlah EP dalam diri individu.

EP aktif bergantian menempati dan menggunakan host untuk mengekspresikan dirinya. EP hanya bisa aktif dan menggunakan host selama kondisi host, terutama dari aspek energi fisik dan energi psikis mampu menopang kegiatan EP ini, dan tidak ada EP lain yang lebih kuat melakukan intervensi.

Bila ada EP yang lebih kuat melakukan intervensi, atau bila energi fisik dan atau energi psikis host sudah tidak lagi mampu mendukung kegiatan EP maka EP yang semula aktif akan memudar ke latar belakang dan terpaksa nonaktif atau tidak bisa aktif. Walau EP memiliki energi sangat besar, energi EP berbeda dengan energi host. EP dan host adalah dua “entitas” berbeda.

Walau EP dan host sejatinya adalah dua “entitas” berbeda, saat EP aktif, ia menguasai dan menggunakan host sebagai media ekspresi dirinya dan host adalah EP. Di saat ini, EP yang sebelumnya aktif sebagai klien bergeser dan tidak lagi menggunakan host. Dengan demikian, apapun yang terjadi dan dilakukan host, baik pikiran, ucapan, dan atau tindakan sesungguhnya adalah aktivitas EP. Bila EP mengalami sakit tertentu ini juga termanifestasi pada host.

EP CEO mengendalikan EP mana yang aktif pada satu waktu. Untuk EP permukaan, EP CEO tidak banyak mengatur karena switching atau pergantian aktivasi EP berjalan otomatis berdasar pola kebiasaan yang telah terbangun selama ini. Walau EP CEO seolah tidak aktif, dalam kondisi ini, sejatinya ia tetap memantau semua pergerakan EP. Hingga suatu saat, bilamana dibutuhkan, EP CEO melakukan intervensi dan menentukan EP mana yang aktif dan boleh menggunakan host untuk mengekspresikan diri atau berkegiatan. Butuh latihan dan kesadaran yang baik agar EP CEO menjadi kuat, lentur, terampil, peka, dan tanggap untuk mengendalikan aktivasi EP sesuai kebutuhan individu.

Aktivasi EP

Dalam satu waktu hanya bisa ada satu EP menjadi eksekutif, menempati, dan menggunakan host. EP yang aktif ini bisa berasal dari permukaan (surface) atau dari kedalaman lapis kesadaran (underlying). EP bisa aktif secara spontan karena terpicu oleh stimulus atau situasi-kondisi tertentu. EP juga bisa aktif karena karena diaktifkan secara sengaja seperti yang terjadi dalam konteks terapi. EP yang sering diakses atau diaktifkan cenderung akan semakin sering aktif dan menjadi semakin kuat.

Dalam konteks terapi, aktivasi EP tidak bersifat terapeutik. EP yang telah diaktifkan dan menjadi eksekutif perlu diproses menggunakan teknik-teknik yang sesuai agar terjadi edukasi, resolusi, rekonsiliasi, atau reintegrasi sehingga tercapai kondisi kondusif untuk kebaikan dan kesejahteraan klien.

Saat klien menjalani terapi, ia memercayakan dan memasrahkan peran pengendali aktivasi EP kepada terapis. Dengan kata lain, terapis bertindak sebagai EP CEO mengendalikan dan mengelola aktivasi EP secara bergantian menggunakan host, menjalin komunikasi, baik antara terapis dan EP-EP, komunikasi antara klien dan EP-EP, komunikasi antara EP satu dengan EP lainnya dalam diri klien, atau komunikasi antara terapis, klien, dan EP-EP.

Dari temuan kami di ruang praktik, diketahui bahwa ada EP yang dapat terus bertumbuh dan berkembang dan ada EP yang mengalami fiksasi, tidak bertumbuh dan berkembang.

Khusus untuk EP yang mengalami fiksasi, bila dibutuhkan untuk kebaikan klien, dapat ditumbuh-kembangkan hingga mencapai usia optimal untuk membantu klien menjalani hidup dengan baik. Tentu, dalam proses ini, EP tidak hanya ditumbuhkan secara usia namun yang lebih penting adalah pertumbuhan di aspek pengetahuan, kebijaksanaan, dan emosi.

Setelah anda membaca dan mencermati tulisan di atas, ijinkan saya mengajukan satu pertanyaan penting untuk direnungkan, "Siapakah diri anda sesungguhnya?"

Menjaga Marwah Etika Hipnoterapis

Menjaga Marwah Etika Hipnoterapis

21 September 2019

Oleh : Antonius Yudo Prihartono, SH, MH, MM, CHt, CT

Koordinator Bidang Advokasi & Perlindungan Anggota AHKI, Ketua Dewan Etik AHKI

 

Asosiasi Hipnoterapi Klinis Indonesia (AHKI) adalah sebuah organisasi yang menaungi profesi hipnoterapis klinis.  AHKI menetapkan standar tinggi, ilmiah dan berbasis bukti (evidence-based) dalam pendidikan dan layanan hipnoterapi untuk kemanfaatan dan perlindungan baik praktisi hipnoterapi dan terutama anggota masyarakat pengguna jasa layanan hipnoterapi.

Para hipnoterapis klinis anggota AHKI menjalankan profesinya dalam koridor kode etik untuk menjaga standar, kualitas pelayanan, dan tentunya kenyamanan pengguna layanan hipnoterapi. Salah satu kode etik yang harus dijalankan oleh para hipnoterapis klinis anggota AHKI ini adalah larangan melakukan terapi di kamar hotel, kafe, atau tempat keramaian lainnya.

Kode etik ini juga masih berkaitan dengan kode etik menjaga kerahasiaan dan identitas klien. Untuk itulah praktik hipnoterapi ini harus dilakukan di ruang praktik demi menjaga privasi dan memberi kenyamanan maksimal untuk proses terapi.

 

Maju Pesat

Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, metode hipnoterapi berkembang sangat pesat di Tanah Air. Cukup banyak pelatihan yang ditawarkan dan banyak muncul praktik hipnoterapi yang menawarkan jasanya melalui media massa. Sangat disayangkan bahwa perkembangan pesat ini belumlah diiringi dengan standar pendidikan, kurikulum, kompetensi hipnoterapis serta kode etik dalam menjalankan profesi hipnoterapi.

Hanya sedikit lembaga pendidikan hipnoterapi di Indonesia memiliki standar pendidikan tinggi dan kurikulum mengacu pada standar internasional sebagaimana yang ditetapkan lembaga hipnoterapi mapan dari luar negeri. Ketidakjelasan standar, kurikulum, dan lama masa pendidikan hipnoterapis berdampak pada kualitas dan kompetensi hipnoterapis yang dihasilkan.

Hipnoterapis klinis anggota AHKI adalah para praktisi hipnoterapi berusia minimal 28 tahun yang telah mengikuti pendidikan hipnoterapi minimal 100 jam tatap muka di kelas. Ini adalah standar pendidikan hipnoterapi yang sangat tinggi.

Saat ini, hipnoterapi yang terus bertumbuh dan berkembang ini masih belum memiliki regulasi yang seragam dari setiap lembaga. Hal ini membuat kualifikasi hipnoterapis pada tiap lembaga bisa sangat berbeda dengan rentang kompetensi yang sangat lebar.

Apabila masyarakat mendapatkan layanan dari hipnoterapis lulusan dari lembaga yang standar pendidikannya kurang, maka masyarakat bisa dirugikan atau malah mendapatkan bahaya.

Selain dari lembaga pendidikannya, diperlukan pula lembaga profesi yang mengatur kode etik dan juga regulasi profesi lainnya agar dapat memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat sehingga tujuan untuk pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan dan kualitas hidup masyarakat dapat tercapai.

Hipnoterapi telah terbukti efektif dalam membantu klien dalam menyelesaikan masalahnya. Maka kehadiran dan peran praktisi hipnoterapi sebagai terapi komplementer pun semakin diterima oleh masyarakat.

Menyadari hal tersebut, AHKI sebagai organisasi profesi hipnoterapi terus melakukan upaya-upaya mengembangkan diri. AHKI menyadari bahwa kode etik merupakan cara untuk praktik hipnoterapi dijalankan dengan rasa tanggung jawab dan dengan penuh integritas. (*) 

Teori Polivagus, Pikiran Bawah Sadar, dan Hipnoterapi Klinis

Teori Polivagus, Pikiran Bawah Sadar, dan Hipnoterapi Klinis

9 Agustus 2019

Oleh: Dr. Dr. Adi W. Gunawan, ST., MPd., CCH®

Artikel ini bertujuan menjelaskan secara singkat teori Polivagus ((Polyvagal Theory) yang digagas oleh Stephen W. Porges, korelasinya dengan pikiran bawah sadar dan hipnoterapi klinis.

Teori Polivagus pertama kali diungkap ke publik oleh Stephen W. Porges, 8 Oktober 1994, di hadapan komunitas ilmiah Society of Psychophysiological Research. Beberapa bulan kemudian, teori ini dipublikasi dalam artikel Orienting in a Defensive World: Mammalian Modifications of Our Evolutionary Heritage dan diterbitkan di jurnal Psychophysiology (Porges, 1995). 

Neurosepsi (Neuroception)

Menurut teori Polivagus, sebelum otak mengerti apa yang terjadi dan memberi makna secara sadar pada suatu situasi atau kejadian, sistem saraf otonom melalui proses yang dinamakan neurosepsi, telah memindai (scan) dan menilai (assess) berbagai informasi yang bersumber baik dari dalam tubuh, lingkungan, maupun dari individu lain, dan memberi makna pada informasi ini (Porges, 2004).

Makna yang dihasilkan melalui proses ini bisa berupa salah satu dari tiga hal berikut: aman, tidak aman/berbahaya, atau mengancam keselamatan hidup. Selanjutnya, masih tanpa melibatkan kesadaran (conscious awareness), sistem saraf memulai dan mendorong terjadinya respon seturut makna.  

Neurosepsi dapat dipandang sebagai sinyal somatik yang memengaruhi pembuatan keputusan dan respon perilaku tanpa secara sadar mengetahui keberadaan isyarat atau pemicu (Klarer dkk, 2014 : 7076). Beberapa karakteristik neurosepsi terekam ke dalam sistem saraf kita, menjadi strategi adaptif, dan diturunkan melalui proses evolusi (Porges, 2009b).

Berbeda dengan persepsi yang melibatkan kesadaran hingga derajat tertentu, neurosepsi berlangsung sangat cepat, tidak melibatkan fungsi kognisi atau kesadaran, namun melibatkan struktur subkortikal sistem limbik (Morris, Ohman, dan Dolan, 1999). Hasil dari neurosepsi berupa firasat (gut feelings), perasaan yang muncul dari hati (heart-informed feelings), dan perasaan tersirat (implicit feelings) yang menggerakkan individu dalam kontinum respon aman dan keselamatan hidup (survival). Neurosepsi mengendalikan kondisi mental emosi, memberi warna pada pengalaman, dan mencipta respon otonom.

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian oleh sekelompok ilmuwan Max Planck Institute for Human Cognitive and Brain Sciences di Leipzig, bekerja sama dengan Charité University Hospital dan Bernstein Center for Computational Neuroscience di Berlin, di bawah pimpinan Professor John-Dylan Haynes. Hasil penelitian yang dipublikasi di Science Daily, 15 April 2008, menyatakan bahwa aktivitas otak memprediksi, bahkan hingga 7 detik lebih awal, bagaimana seseorang akan membuat keputusan. Dengan kata lain, pembuatan keputusan adalah hasil dari aktivitas mental yang bersifat tidak disadari (nirsadar).

Pemindaian dan penilaian yang dilakukan sistem saraf otonom, melalui proses neurosepsi, bekerja berdasar pola kebiasaan yang berkembang seiring waktu dan dibentuk melalui pengalaman hidup, baik pengalaman positif dan memberdayakan, maupun pengalaman traumatik. Neurosepsi membentuk kondisi psikologis (kognisi dan emosi) dan selanjutnya kondisi ini menentukan respon individu (Dana, 2018).

Secara anatomis, tiga bagian otak yang terlibat dalam proses neurosepsi adalah temporal cortexperiaqueductal gray (PAG), dan insula (Porges, 2009b, 2011). Temporal cortex bekerjasama dengan amigdala menjalankan fungsi mengenali dan berespon pada wajah, suara, dan gerakan tangan orang untuk menentukan derajat keterpercayaan seseorang. PAG berkomunikasi dengan sistem saraf simpatik dan dorsal vagus untuk mengelola perilaku konfrontatif, perilaku menghindar atau lari, dan perilaku imobilisasi. Insula terlibat dalam interosepsi, mengolah informasi yang berasal dari organ tubuh, atau membawa umpan balik dari organ viseral ke permukaan sehingga diketahui oleh pikiran sadar (Craig, 2009a).

Neurosepsi memberi individu akses pada informasi yang tidak dapat individu amati secara sadar. Bila neurosepsi bekerja dengan baik, ia adalah berkah dalam menjaga keselamatan dan kesejahteraan individu. Namun, neurosepsi juga bisa salah dalam melakukan penilaian akibat distorsi yang disebabkan oleh trauma masa lalu, berbagai emosi negatif dalam diri, akibat pengaruh obat, kondisi fisik lelah, gula darah rendah, sakit, atau bahkan saat individu sedang jatuh cinta. 

Sistem Saraf Otonom

Sebelum Teori Polivagus, sistem saraf otonom manusia digambarkan sebagai sistem antagonis dua bagian, simpatik dan parasimpatik, dengan peran dan fungsinya masing-masing, dan hanya satu sistem saraf yang bisa aktif pada satu waktu tertentu. Sistem saraf simpatik berespon pada sinyal atau isyarat bahaya,  melepas adrenalin dan menyiapkan tubuh untuk proses penyelamatan hidup melalui respon lawan atau lari (fight-flight response). Sementara sistem saraf parasimpatik berfungsi merilekskan individu.

Teori Polivagus mengidentifikasi jenis respon ketiga, yang Porges (2004) sebut sebagai sistem keterlibatan sosial (social engagement system), perpaduan antara  respon aktif dan menenangkan, beroperasi melalui pengaruh saraf yang unik.

Dalam Teori Polivagus dinyatakan bahwa sistem saraf parasimpatik memiliki dua cabang dengan fungsi berbeda: ventral vagus dan dorsal vagus. Dengan demikian, menurut teori ini, terdapat tiga jalur dalam sistem saraf otonom kita: simpatik, ventral vagus dan dorsal vagus (Porges, 2011).

Saraf simpatik berawal dari dalam kolom tulang belakang, menuju ke bagian tengah medula spinalis dalam kolom sel medialolateral (atau tanduk lateral), dimulai pada segmen toraks pertama dari medula spinalis dan diperkirakan meluas ke segmen lumbar kedua atau ketiga. Saraf simpatik memobilisasi energi individu melalui dua sistem: medula simpatik adrenal (sympathetic adrenal medullary / SAM) dan poros hipotalamus-pitutitari-adrenal (hypopthalamic-pituitary-adrenal axis) atau poros HPA.

Saat sistem saraf memaknai situasi sebagai bahaya atau mengancam, SAM aktif dan mengakibatkan semburan adrenalin untuk respon segera terhadap stresor. Respon sekejap ini berlangsung dalam rentang waktu 100 milidetik. Aktivasi SAM bertujuan untuk respon jangka pendek dan setelahnya tubuh kembali ke kondisi normal. Namun apabila situasi tidak dapat diatasi dengan aktivasi SAM, selanjutnya poros HPA aktif dan melepas hormon stres kortisol.

Manusia memiliki 12 pasang saraf kranial (saraf yang muncul langsung dari otak). Saraf vagus adalah saraf kranial 10, paling panjang dari semua saraf kranial, dan merupakan komponen utama dari sistem saraf parasimpatik. Saraf vagus bukan saraf tunggal namun berupa kumpulan serabut saraf dalam selubung.

Saraf vagus terbagi menjadi dua jalur di diafragma: ventral vagus dan dorsal vagus. Ventral vagus memengaruhi kerja organ-organ di atas diafragma (supradiafragmatik) seperti jantung dan paru-paru, sementara dorsal vagus memengaruhi kerja organ-organ di bawah diafragma (subdiafragmatik), terutama organ pencernaan.

Ventral vagus berespon pada isyarat situasi atau kondisi aman dan mendukung rasa aman untuk keterlibatan dan keterhubungan secara sosial. Sementara dorsal vagus berespon pada isyarat bahaya ekstrim yang mengancam keselamatan, guncangan hebat baik fisik atau psikis (shock – trauma), atau bila individu merasa tidak berdaya menghadapi situasi tertentu.

Aktifnya dorsal vagus dapat diamati melalui karakteristik fisik antara lain wajah kehilangan warna, datar, dan tampak tidak responsif. Suara juga berubah menjadi datar, respon verbal menjadi (sangat) lambat, mata nanar dan tekanan darah turun. Aliran darah ke lobus frontalis juga menurun mengakibatkan otak tidak mampu membentuk narasi dan gambaran kejadian yang dialami individu. Individu mengalami amnesia. Ini terjadi karena pada saat mengalami guncangan hebat, individu bereaksi menggunakan bagian otak dan sistem saraf yang lebih primitif.

Hampir semua saraf ventral vagus termielinasi. Sementara saraf-saraf dorsal vagus hampir semuanya tidak termielinasi. Mielinisasi membuat ventral vagus mampu memroses informasi dengan cepat dan efisien (Porges, 1997).

Hal penting lainnya, 80% saraf vagus adalah saraf aferen, yaitu saraf yang mengirim sinyal sensorik ke otak. Sementara 20%-nya adalah saraf eferen, yaitu saraf yang mengirim sinyal dari otak ke otot-otot dan kelenjar-kelenjar.

Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa saat situasi aman, ventral vagus aktif, individu dapat menjalani interaksi sosial (social engagement) dengan baik. Saat situasi tidak aman atau bahaya, saraf simpatik aktif dan individu masuk mode lawan atau lari (fight-flight). Dan saat menghadapi bahaya ekstrim, dorsal vagus aktif, individu mengalami kondisi imobilisasi atau freeze.

Hirarki Aktivasi

Untuk memahami cara kerja dan urutan aktivasi ketiga sistem saraf otonom ini, dapat digunakan analogi tangga. Posisi paling atas tangga adalah ventral vagus. Di bawahnya, sistem saraf simpatik. Dan paling bawah adalah dorsal vagus.

Dalam kondisi normal, saat neurosepsi memberi makna aman terhadap situasi di dalam diri, lingkungan, atau orang lain di sekitar individu, saraf ventral vagus aktif. Aktifnya ventral vagus berakibat individu merasa aman, nyaman, dan mampu berinteraksi sosial dengan baik.

Apabila karena sesuatu hal, neurosepsi memaknai suatu isyarat sebagai tanda bahaya maka aktivasi ventral vagus menurun dan saraf simpatik mulai aktif. Bila kondisi bahaya ini dapat segera diatasi, saraf simpatik menjadi nonaktif dan ventral vagus kembali aktif sepenuhnya sehigga individu dapat menjalani kehidupan dengan perasaan nyaman dan mampu berinteraksi dengan lingkungan.

Namun bila kondisi bahaya ini tidak dapat diatasi, ventral vagus segera menjadi nonaktif dan saraf simpatik aktif sepenuhnya mengendalikan individu. Saraf simpatik mengaktifkan respon lawan atau lari (fight-flight response). Saat individu menghadapi bahaya ekstrim yang mengancam keselamatan atau guncangan ektrim yang dinilai di luar kemampuan individu untuk mengatasinya, dorsal vagus aktif, dan individu masuk kondisi imobilisasi/beku (freeze), menarik atau menutup diri,dan bisa mengalami disosiasi.

Pengalaman tidak kondusif atau traumatik dalam proses tumbuh kembang individu mengakibatkan neurosepsi sering salah dalam memaknai suatu informasi. Informasi yang sebenarnya netral atau bukan masalah dimaknai sebagai sesuatu yang mengancam atau berbahaya, mengakibatkan ventral vagus nonaktif, dan sistem saraf simpatik atau dorsal vagus aktif.  

Untuk mampu menjalankan interaksi dan fungsi sebagai makhluk sosial dengan baik, merasa tenang, aman, bahagia, aktif, penuh perhatian, semangat, dan menikmati hidup, individu butuh aktivasi ventral vagus. Namun, semua hal ini tidak bisa individu alami bila sistem saraf simpatik atau dorsal vagus aktif, yang menempatkan individu dalam mode genting lawan atau lari, atau kondisi imobilisasi.

Pengalaman tidak kondusif atau traumatik dalam proses tumbuh kembang dapat mengakibatkan individu tersangkut dalam mode sistem saraf simpatik aktif atau dorsal vagus aktif untuk waktu lama.

Saat sistem saraf telah terkondisi sedemikian rupa, ia akan terus berada dalam kondisi ini hingga individu secara sadar melakukan pengkondisian baru. Perubahan melalui pengkondisian baru sifatnya penting karena neurosepsi mengikuti pola terkondisi ini. 

Trauma dan Sistem Saraf Otonom

Setiap individu, dalam perjalanan hidupnya, pasti pernah mengalami peristiwa yang mengguncang, intens, dan penuh tekanan. Namun, respon setiap individu tidaklah sama. Ada yang dapat mengatasi kondisi ini dengan cepat dan kembali ke kondisi seimbang, nyaman, dan mampu melanjutkan hidup dengan baik melalui interaksi sosial bermakna. Sementara ada juga individu yang berubah, akibat kejadian ini, dan tidak lagi sama seperti dirinya sebelum kejadian.

Gangguan psikologis pascatrauma, bila ditilik dari perspektif Teori Polivagus, sejatinya terbagi menjadi dua. Pertama, kondisi pascatrauma kronis melalui aktivasi sistem saraf simpatik yang menghasilkan respon lawan atau lari, atau lebih sering disebut kondisi stres. Kedua, kondisi pascatrauma kronis melalui aktivasi dorsal vagus yang menghasilkan respon menarik atau menutup diri akibat perasaan takut, tidak berdaya, putus asa, dan berbagai perilaku depresi (Rosenberg, 2017).

Gangguan stres pascatrauma terjadi bila respon genting lawan, lari, atau imbolisasi teraktivasi namun tidak berhasil dinonaktifkan kembali dan individu mengalami fiksasi psikofisiologis, mengakibatkan ventral vagus nonaktif untuk waktu lama. 

Pikiran Bawah Sadar

Manusia memiliki dua pikiran: pikiran sadar (PS) dan pikiran bawah sadar (PBS). PBS mulai aktif sejak terjadi pembuahan. Ia akan terus dan selalu aktif hingga individu meninggal. Sementara PS baru mulai aktif saat individu berusia tiga tahun. Berbeda dengan PBS yang senantiasa aktif dan bekerja, PS hanya aktif saat individu dalam kondisi bangun dan sadar penuh. Saat individu tidur, pingsan, dibawah pengaruh obat, atau dianestesi, PS tidak aktif (sepenuhnya).

PS terus berkembang seiring proses tumbuh-kembang individu dan menjadi sangat kuat saat usia 13 tahun. PS memiliki fungsi berpikir analitis, rasional, menyimpan memori jangka pendek, kekuatan kehendak, dan faktor kritis (Gunawan, 2012).

PBS memiliki lebih banyak fungsi daripada PS. Fungsi paling utama PBS adalah menjaga dan atau melindungi keselamatan individu dari segala sesuatu yang ia pandang, rasa, yakin, percaya, atau asumsikan sebagai hal membahayakan kesejahteraan atau keselamatan individu (Tebbetts, 1987; Gunawan, 2012). PBS melindungi individu berdasar keputusan dan cara yang ia pilih. Fungsi lain PBS adalah sebagai tempat menyimpan kepercayaan (belief), nilai (value), memori jangka panjang, kebiasaan (baik, buruk, netral), kepribadian, karakter, intuisi, kreatifitas, dan sumber emosi (Churchill, 2012; Gunawan, 2012).

PBS melindungi individu menggunakan data yang tersimpan di memori yang dihimpun seiring pertumbuhan dan perkembangan individu. Selanjutnya, dengan menggunakan data ini sebagai parameter, PBS memindai (scan) berbagai informasi, baik yang bersumber dari dalam diri maupun lingkungan.

Data hasil pemindaian yang masuk ke PBS, dengan sangat cepat dibandingkan dengan data di memori, dan setelahnya PBS memberi makna: aman, berbahaya, atau mengancam keselamatan jiwa. Berdasar makna ini, PBS menyiapkan respon adaptif yang sesuai. Semua ini terjadi dengan sangat cepat tanpa melibatkan PS.

Kapasitas dan kecepatan PBS dalam memroses data sangat besar dan cepat. Menurut Zimmermann (1989) jumlah maksimal informasi yang dapat disadari adalah sekitar 40 bit/detik – sangat jauh di bawah jumlah yang diterima oleh reseptor-reseptor (ujung-ujung saraf). Sementara Trincker (dalam Norrentranders, 1998:126) menyatakan bahwa dari semua informasi yang masuk ke otak setiap detik, yang berasal dari semua sensor organ, hanya sejumlah sangat kecil disadari. Rasio antara kapasitas persepsi dan kapasitas apersepsi adalah satu juta berbanding satu. Dengan kata lain, hanya satu per satu juta informasi yang dapat dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, dan yang berasal dari organ atau indera lainnya, yang muncul ke kesadaran dan diketahui atau disadari. Dari dua pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa perbandingan kapasitas pemrosesan data antara PS dan PBS adalah 40 bit/detik berbanding 40.000.000 bit/detik atau 1 berbanding 1.000.000.

Dengan kecepatan pemrosesan data yang sedemikian tinggi, PBS dapat secara instan memberi makna pada suatu informasi yang ia terima, dan selanjutnya mengirim sinyal ke pikiran sadar terutama melalui tiga dari lima jalur komunikasi utama: perasaan, sensasi fisik, suara hati (inner talk). Dua jalur lainnya adalah intuisi dan mimpi.

Para pakar hipnoterapi seperti Erickson, Boyne, Tebbetts, Kein, Churchill dan yang lainnya menyatakan bahwa besarnya daya pengaruh PS dan PBS dalam memengaruhi dan mengendalikan individu adalah 10% berbanding 90%. Hal yang sama dinyatakan oleh Szegedy-Maszak (2005) bahwa manusia hanya menyadari sekitar 5% dari aktivitas berpikirnya, dengan demikian hampir semua keputusan, tindakan, emosi, dan perilaku seseorang sepenuhnya bergantung pada 95% aktivitas otak yang berlangsung tanpa ia sadari.

Saat seseorang di masa kecil, misalnya pernah mengalami trauma karena digigit anjing, maka data berupa narasi kejadian dan emosinya tersimpa di memori PBS. Selanjutnya, berdasar data ini, PBS akan memindai apakah ada anjing di sekitar individu dan bila ada, PBS akan langsung mengaktifkan tanda bahaya berupa perasaan tidak nyaman, takut, atau sensasi fisik tertentu, atau bahkan ada suara hati yang memerintah individu untuk segera menjauh dari anjing.

Demikian pula bila seseorang pernah mengalami perlakukan buruk, misal dimarahi oleh orang tua dengan suara keras, narasi kejadian dan emosinya disimpan di memori PBS. Setelahnya, setiap kali ia mendengar suara keras, walau suara ini tidak ditujukan padanya, PBS memberi sinyal tanya bahaya.

Sinyal ini direspon fisik dalam bentuk aktivasi sistem saraf simpatik. Dan bila bahaya telah berlalu dan individu merasa aman atau nyaman, sesuai dengan pemaknaan PBS, ia kembali rileks. Individu menjadi rileks karena sistem saraf parasimpatik, tepatnya ventral vagus, aktif.

Dan bila berdasar penilaian PBS individu tidak mungkin bisa mengatasi kondisi atau situasi yang sedang ia hadapi, sebagai langkah perlindungan, PBS akan membuat individu menjadi lemas, tidak mampu bergerak, bahkan pingsan. PBS juga bisa membuat individu mengalami disosiasi agar tidak mengalami sakit atau penderitaan berlebih. Kondisi ini sejatinya adalah aktivasi saraf dorsal vagus.

Dalam hipnoterapi, dilakukan induksi hipnotik dengan tujuan membuat PS menjadi rileks sehingga faktor kritis PS menjadi nonaktif. Dengan demikian, terapis dapat berbicara langsung dengan PBS klien tanpa intervensi dari PS.

Dalam kondisi hipnosis sedalam apapun, saat PS tidak lagi bekerja, PBS klien tetap aktif dan senantiasa menjalankan fungsi proteksi pada diri individu. Ini sejatinya adalah proses neurosepsi yang dilakukan sistem saraf otonom. 

Hipnoterapi Klinis

Teori Polivagus menyatakan bahwa sistem saraf terkondisi oleh pengalaman hidup dan membentuk pola spesifik sebagai acuan pemberian makna oleh proses neurosepsi. Pengalaman traumatik mengakibatkan neurosepsi lebih sering memberi makna bahaya terhadap isyarat atau informasi yang bersumber dari dalam diri atau lingkungan. Kondisi ini mengakibatkan saraf simpatik atau dorsal vagus lebih sering aktif.

Sementara pengalaman positif yang dialami individu dalam proses tumbuh kembangnya membuat neurosepsi lebih tepat memberi makna pada isyarat atau informasi yang diterima dari dalam diri atau lingkungan, sebagai kondisi aman atau terkendali. Hal ini mengakibatkan individu lebih sering berada dalam mode aktivasi ventral vagus dan mampu menjalankan hidup dengan baik melalui interaksi sosial.

Pengkondisian ulang sistem saraf yang cenderung mengaktifkan saraf simpatik dan dorsal vagus dapat dilakukan dengan teknik tertentu (Porges dan Dana, 2018; Dana, 2018). Teknik dimaksud adalah dengan melatih individu mengenali kapan salah satu dari tiga sistem sarafnya aktif, apa yang membuat sistem saraf ini aktif, dan apa yang bisa ia lakukan untuk mengubah situasi ini.

Dengan sering berlatih mengenali dan melakukan koreksi atas respon, individu melakukan pengkondisian ulang pada sistem sarafnya. Hal yang sebelumnya oleh neurosepsi dimaknai bahaya atau mengancam keselamatan, padahal sesungguhnya tidak, akan terkoreksi sehingga bila individu bertemu dengan isyarat atau informasi yang sama, neurosepsi memberi makna berbeda.

Dari perspektif hipnoterapi klinis, pola berulang yang dialami individu sejatinya adalah program pikiran berisi narasi kejadian dan emosi dengan intensitas tertentu, yang tersimpan di memori PBS.

Berbagai kejadian traumatik dan emosi intens yang lekat padanya, tersimpan di memori, tidak hilang walau telah lama berlalu. Memori ini, tidak seperti memori pada umumnya yang akan pudar dengan sendirinya, akan terus aktif, bahkan setelah puluhan tahun. Bagi para individu ini, masa lalu selalu hadir di masa sekarang, dan mengakibatkan individu kerap dalam kondisi waspada berlebih. (Van der Kolk, 2014),

Kondisi waspada, akibat aktifnya saraf simpatik, adalah simtom yang bersumber dari energi yang terperangkap dalam sistem saraf dan sangat menganggu keseimbangan serta kesejahteraan tubuh dan pikiran. Residu ini terjadi karena individu tidak dapat menyelesaikan proses melewati atau keluar dari kondisi tak berdaya saat mengalami kejadian (Levine, 1997). Kondisi ini hanya bisa berubah atau diubah saat emosi yang lekat pada memori kejadian berhasil dikeluarkan sepenuhnya dari sistem psikis individu.

Melalui proses hipnoterapi klinis, individu dibimbing untuk dengan aman mencari, menemukan, dan mengakses pengalaman traumatik masa lalu, yang mengakibatkan ia mengelamai fiksasi psikofisiologis berupa respon sistem saraf yang tidak akurat dan malfungsi neurosepsi.

Saat pengalaman traumatik ini berhasil direkonstruksi, emosi yang lekat pada memori berhasil dinetralisir dan tuntas dikeluarkan dari sistem psikis individu, individu mengalami pengalaman emosional korektif, sistem saraf kembali ke kondisi homeostasis alamiah, ventral vagus aktif, dan neurosepsi dapat bekerja dengan benar.

 

Referesi:

Churchill, Randal. 2012. Advanced Clinical Hypnotherapy workbook.

Craig, A. D. 2009a. How do you feel—now? The anterior insula and human awareness. Nature Reviews Neuroscience, 10, 59–70.

Dana, Deb. 2018. The Polyvagal Theory in Therapy: Engaging the Rhythm of Regulation. New York: Norton

Gunawan, Adi W. 2012. The Miracle of MindBody Medicine. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Klarer, M., Arnold, M., Günther, L., Winter, C., Langhans, W., & Meyer, U. 2014. Gut vagal afferents differentially modulate innate anxiety and learned fear. Journal of Neuroscience, 34(21), 7067–7076

Levine, Peter.1997. Waking the Tiger: Healing Trauma. Berkeley: North Atlantic

Morris, J.S., Ohman, A., & Dolan, R.J. 1999. A subcortical pathway to the right amygdala mediating “unseen” fear. Proceedings of the National Academy of Sciences USA, 96, 1680-1685

Norrentranders, T. 1998. The User Illusion: Cutting Consciousness Down to Size. New York: Penguin Books

Porges, S. W. 2009a. The polyvagal theory: New insights into adaptive reactions of the autonomic nervous system. Cleveland Clinic Journal of Medicine76 (Suppl 2), S86–S90.

Porges, Stephen W., Dana, A., Deb. 2018. Clinical Applications of the Polyvagal Theory: The Emergence of Polyvagal-Informed Therapies. New York : Norton

Porges, Steven W. 1995. Orienting in a Defensive World: Mammalian Modifications of Our Evolutionary Heritage. Psychophysiology. 32(4):301-318.

Porges, Steven W. 1997. Emotion: An evolutionary by-product of the neural regulation of the autonomic nervous system. Annals of the New York Academy of Sciences, 807, 62–77.

Porges, Steven W. 2011. The Polyvagal Theory: Neurophysiological Foundations of Emotions, Attachment, Communication, and Self-regulation. New York: Norton

Rosenberg, Stanley. 2017. Accessing the Healing Power of the Vagus Nerve. Berkeley: North Atlantic Book.

Sciencedaily. 2008, 15 April. Decision-making May Be Surprisingly Unconscious Activity. Diakses 8 Agustus 2019, dari https://www.sciencedaily.com/releases/2008/04/080414145705.htm

Szegedy-Maszak, M. 2005. Mysteries of the Mind, Is your unconscious making your everyday decisions? U.S. News & World Report

Tebbetts, Charles. 1987. Self Hypnosis and Other Mind-Expanding Techniques. Glendade: Westwood Pulishing

Van der kolk, Bessel. 2014. The Body Keeps the Score: Brain, Mind, and Body in the Healing of Trauma. New York: Penguin Books

Zimmermann, Manfred. The Nervous System in the Context of Information Theory. Human Physiology, 89, 166-173

Tipologi dan Koridor Regresi Dalam Hipnoterapi Klinis

Tipologi dan Koridor Regresi Dalam Hipnoterapi Klinis

23 Mei 2019

Oleh: Dr. Dr. Adi W. Gunawan, ST., MPd., CCH ®.

Terapi dan penanganan masalah perilaku dan emosi, menggunakan pendekatan psikologis, sejatinya hanya terbagi menjadi dua: tanpa memroses akar masalah dan memroses akar masalah.

Pendekatan terapi tanpa memroses akar masalah, dilakukan antara lain dengan pemberian sugesti, teknik berbasis metafora, teknik-teknik NLP (neurolinguistic programming), konseling, berbagai pendekatan dalam psikoterapi (Wedding dan Corsini, 2014) seperti psikoanalisis, psikoterapi Alderian,  Rogerian, terapi perilaku emotif rasional, terapi perilaku, terapi kognitif, psikoterapi eksistensial, terapi Gestalt, psikoterapi interpersonal, terapi keluarga, dan psikoterapi positif.

Terapi perilaku dan emosi dengan memroses akar masalah dilakukan dalam hipnoterapi, menggunakan teknik yang sesuai, diawali dengan upaya mencari dan menemukan akar masalah, salah satunya dengan teknik regresi. Ada banyak teknik regresi dalam hipnoterapi. Semua bertujuan menuntun klien mundur, menyusuri garis waktu di dalam pikirannya, untuk mencapai akar masalah. Teknik-teknik regresi ini dikelompokkan menjadi dua, berbasis afek dan nonafek.

Teknik regresi berbasis nonafek antara lain teknik “Buku Kehidupan”, “Layar Komputer”, “Perahu Kehidupan”, “Karpet Ajaib”, “Terowongan Waktu”, “Kalender”, “Bola Kristal”, “Kotak Masalah”, “Ideomotor Magic”, dan masih banyak lagi. Intinya, teknik ini tidak menggunakan afek atau emosi sebagai bahan bakar yang mendorong klien begerak mundur ke masa lalunya.

Teknik regresi berbasis afek atau dikenal dengan jembatan afek (affect bridge) adalah prosedur hipnotik yang digunakan untuk melacak dan menemukan awal mula kejadian yang memunculkan emosi yang dirasakan di masa kini. Jembatan afek didasarkan pada fakta psikologis bahwa emosi atau perasaan dapat mengaktifkan, mengarahkan, atau meningkatkan daya ingat ( Watkins, 1971;Watkins & Barabasz, 2008; Yapko, 2012)

Bagaimana Melakukan Regresi Affect Bridge?

Dalam regresi affect bridge, klien dituntun mundur, dari waktu kini ke kejadian di masa lalu, menggunakan afek sebagai bahan bakar regresi. Caranya, afek di masa kini, yang dirasakan klien dan berhubungan dengan masalah, ditingkat intensitasnya dan semua aspek dari pengalamannya secara hipnotik dihapus. Klien selanjutnya diminta mundur, ke pengalaman paling awal saat afek ini muncul atau tercipta untuk pertama kali dalam hidupnya, dan dilanjut dengan revivifikasi spontan.

Klien bergerak mundur menyusuri garis waktu dan mendarat di satu peristiwa masa lalu. Di sini terapis meminta klien menceritakan apa yang terjadi dan apa yang klien rasakan. Selanjutnya terapis melakukan validasi untuk mengungkap apakah benar kejadian ini adalah kejadian paling awal atau ISE (initial sensitizing event), atau kejadian lanjutan atau SSE (subsequent sensitizing event). Bila ternyata kejadian ini adalah ISE maka proses regresi berakhir di sini. Namun bila kejadian ini bukan ISE, tapi SSE, maka regresi dilanjutkan menggunakan afek yang muncul pada kejadian ini, hingga mencapai ISE.

Saat mencapai ISE, terapis membantu klien melakukan rekonstruksi kejadian ini, dengan tujuan membantu klien mendapat pemahaman baru dan pembelajaran. Akhir dari proses ini adalah terjadinya pengalaman emosional korektif (corrective emotional experience) pada diri klien.

Pada satu kejadian biasanya klien mengalami lebih dari satu afek. Di sini sangat dibutuhkan kejelian terapis dalam menentukan emosi atau afek yang digunakan sebagai bahan bakar regresi lanjutan. Kekeliruan dalam menentukan afek mengakibatkan regresi yang menyimpang dari jalur seharusnya untuk mencapai ISE.

Berdasar prosedur validasi akar masalah, dalam regresi affect bridge, terdapat dua kelompok hipnoterapis. Pertama, hipnoterapis yang langsung menerima bahwa kejadian yang terungkap melalui regresi sebagai akar masalah, tanpa melakukan validasi (single affect bridge regression). Dan kedua, hipnoterapis yang melakukan validasi untuk memastikan bahwa hasil regresi adalah benar kejadian paling awal atau initial sensitizing event(ISE). Bila melalui proses validasi diketahui bahwa kejadian yang terungkap bukan ISE, melainkan subsequent sensitizing event (SSE), terapis akan mengulang regresi hingga berhasil menemukan ISE (serial-affect bridge regression) (Gunawan, 2017). Dalam praktik klinis, agak langka dijumpai dalam sekali regresi langsung berhasil ditemukan ISE. Biasanya, ISE dicapai melalui satu atau beberapa SSE. Para hipnoterapis Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology (AWGI)  menamakan proses sekali regresi langsung menemukan akar masalah sebagai jackpot.

Dalam praktik hipnoterapinya, para hipnoterapis AWGI menggunakan serial affect bridge regression, dan menemukan hal penting yang tidak dialami atau ditemukan oleh para hipnoterapis yang mempraktikkan single affect bridge regression atau yang hanya mengandalkan sugesti sebagai teknik intervensinya.

Proses menuju akar masalah, dalam regresi affect bridge, selalu melalui salah satu dari tiga cara: regresi tunggal afek tunggal (single regression single affect), regresi serial afek tunggal (serial regression single affect), dan regresi serial afek serial (serial regression serial affect).

Yang dimaksud dengan “regresi tunggal afek tunggal” adalah hanya ada satu regresi dengan satu afek dan langsung berhasil mencapai kejadian paling awal. Yang dimaksud “regresi serial afek tunggal” adalah terdapat lebih dari satu regresi, dimulai dengan regresi awal (initial regression) dengan afek tertentu, dan satu atau beberapa regresi lanjutan (subsequent regression) menggunakan afek yang sama atau serupa dengan afek pada regresi awal, hingga mencapai kejadian paling awal.

Yang dimaksud dengan “regresi serial afek serial” adalah terdapat lebih dari satu regresi, dimulai dengan regresi awal (initial regression) dengan afek tertentu, dan satu atau beberapa regresi lanjutan (subsequent regression), di mana minimal terjadi satu regresi lanjutan dengan afek yang berbeda dengan afek pada regresi awal, hingga mencapai kejadian paling awal.

Penelisikan lebih dalam pada tiga tipe regresi ini menunjukkan bahwa walau terdapat perbedaan afek yang mendasari regresi awal dan regresi lanjutan, proses regresi, bila dilakukan dengan tepat, akhirnya pasti berakhir pada kejadian paling awal yang menjadi asal muasal simtom yang klien alami.

Hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti bagaimana tepatnya mekanisme di pikiran bawah sadar dalam menentukan jumlah kejadian yang menjadi penyebab munculnya simtom. Dari pengalaman praktik para hipnoterapis AWGI, dijumpai bahwa ada  klien yang hanya dengan sekali regresi affect bridge bisa langsung mencapai kejadian paling awal atau akar masalah. Namun yang lebih sering terjadi adalah dibutuhkan beberapa regresi affect bridge untuk mencapai kejadian paling awal.

Hal lain yang juga ditemukan, namun juga belum dapat diketahui dengan pasti adalah bagaimana pikiran bawah sadar menentukan hanya dibutuhkan kejadian tunggal (sufficient condition) sebagai akar masalah, dan bagaimana pikiran bawah sadar menentukan dan menautkan beberapa kejadian (necessary condition) sehingga menjadi rangkaian kejadian penyebab munculnya simtom.

Terlepas dari mekanisme di atas, yang masih perlu ditelisik lebih jauh, dan ini adalah bagian dari penelitian yang terus dilakukan secara kolektif oleh para hipnoterapis AWGI dan anggota AHKI (Asosiasi Hipnoterapi Klinis Indonesia), satu hal yang sudah pasti adalah terdapat koridor regresi di pikiran bawah sadar yang menghubungkan masa kini dan masa lalu, berujung pada kejadian paling awal yang menjadi akar masalah.

(Sumber: adiwgunawan.com)

Detraumatisasi, Neurosains, dan Hipnoterapi Klinis

Detraumatisasi, Neurosains, dan Hipnoterapi Klinis

23 Mei 2019

Oleh: Dr. Dr. Adi W. Gunawan, ST., MPd., CCH ®.

Hipnoterapi klinis, salah satu pendekatan dalam psikoterapi, sangat efektif mengatasi beragam masalah yang berhubungan dengan perilaku, mental, dan emosi (Barios, 2009). Hipnoterapi klinis, bila dipraktikkan dengan benar, mengikuti protokol yang sahih, mampu membantu klien mengatasi masalah, dari pengalaman klinis kami,  antara satu hingga maksimal empat sesi terapi.

Terkait keefektifan dan kecepatan hipnoterapi klinis mengatasi masalah hingga tuntas, dengan hasil terapi yang stabil hingga waktu lama, saya sengaja menghindari menggunakan kata permanen, ada tiga pertanyaan penting untuk dijawab. Pertama, “Apa yang membuat seseorang trauma, sementara yang lain mengalami hal sama, sama sekali tidak terpengaruh?” Kedua, “Apa yang terjadi di pikiran klien, khususnya pikiran bawah sadar, saat ia menjalani sesi hipnoterapi klinis sehingga bisa sembuh dengan cepat dan hasil terapi yang stabil, bertahan untuk waktu lama?” Dan ketiga, “Apa yang sebenarnya terjadi di otak klien saat ia menjalani sesi hipnoterapi klinis sehingga bisa sembuh dengan cepat?”

Jawaban pertanyaan pertama sudah saya jelaskan di artikel Memahami Trauma dan Penyebabnya dan Memahami Trauma dan Penyembuhannya dari Perspektif Hipnoterapi Klinis dan Neurosains. Pertanyaan kedua juga telah saya jawab dengan jelas dan gamblang dalam banyak artikel yang telah dipublikasikan di AdiWGunawan.com. Jawaban untuk pertanyaan ketiga dijelaskan di artikel ini.

Dalam artikel Memahami Trauma dan Penyebabnya dijelaskan suatu kejadian untuk dapat terekam di otak sebagai memori traumatik butuh lima syarat. Pertama, harus ada kejadian yang menghasilkan emosi. Kedua, kejadian ini memiliki makna bagi individu. Ketiga, kondisi kimiawi otak pada saat kejadian mendukung. Keempat, individu merasa terperangkap, tidak bisa menghindar dari kejadian ini. Kelima, individu merasa tidak berdaya. Bila kelima syarat ini terpenuhi, individu yang mengalami kejadian itu mengalami trauma dengan segala akibat bawaannya.

Apa yang Terjadi di Otak?

Pengalaman traumatik, yang terekam sebagai memori, sejatinya terdiri atas minimal empat komponen. Pertama, emosi atau perasaan. Kedua, komponen kognitif pikiran sadar yaitu konten mental yang kita pikirkan atau perhatikan, kita sadari keberadaan dan maknanya. Ketiga, komponen kognitif pikiran bawah sadar yaitu konten mental yang muncul karena terpicu oleh faktor internal atau eksternal, tidak kita sadari keberadaannya, namun mengakibatkan gejala fisik dan emosi. Keempat, komponen somatosensori yaitu sensasi yang dirasakan di tubuh fisik seperti sakit, tegang, kesemutan, perubahan temperatur kulit, hipersensitif terhadap sentuhan atau cahaya, dan sensasi lainnya. Dari keempat komponen ini, komponen emosi berperan sebagai perekat yang menyatukan komponen-komponen lainnya.

Bila disederhanakan, memori traumatik hanya terdiri atas dua komponen utama, narasi kejadian dan emosi. Setiap kali seseorang mengingat kembali kejadian traumatik, yang terjadi adalah ia secara sadar memilih dan mengaktifkan satu memori spesifik, dari sekian banyak memori di pikiran bawah sadar, dan “menaikkan” data ini ke memori kerja pikiran sadarnya. Pada memori traumatik ini lekat pula emosi intens yang turut aktif saat memori diaktifkan. Emosi ini selanjutnya memengaruhi tubuh melalui jalur somatosensori. 

Para peneliti awal trauma seperti Janet dan Freud menyatakan bahwa trauma membuat invididu, yang mengalaminya, mengalami fiksasi dan terkunci di masa lalu, dan dalam kasus tertentu menjadi obsesif dengan trauma. Janet mengamati perilaku dan perasaan para kliennya yang meliputi mimpi buruk, reaksi intens dan berlebih terhadap stimuli sederhana, rasa takut berlebih tanpa alasan jelas, dan kesedihan mendalam tanpa tahu apa penyebabnya. Mereka tersandera di masa lalu, tak berdaya untuk lepas dari situasi ini. Memori-memori kejadian ini tidak memudar atau hilang seiring waktu berjalan seperti memori pada umumnya, bahkan setelah puluhan tahun kemudian. Bagi para korban ini, masa lalu selalu hadir di masa sekarang (Van der Kolk, Weisaeth, dan van der Hart, 2007).

Mekanisme suatu kejadian disimpan dalam bentuk memori disebut konsolidasi. Konsolidasi adalah proses menstabilkan jejak memori setelah akuisisi awal. Konsolidasi kejadian bermuatan emosi intens terdiri atas dua tahap. Konsolidasi sinaptik di amigdala dan hipokampus yang terjadi dengan cepat dalam rentang waktu beberapa menit, melibatkan reseptor-reseptor glutamat, norepinefrin, kortisol, dan senyawa kimiawi lain. Selanjutnya, konsolidasi sistem terjadi saat memori ini menjadi independen, berdiri sendiri, lepas dari hipokampus, dalam rentang waktu beberapa minggu hingga bertahun-tahun kemudian. Memori-memori traumatik ini disimpan di korteks otak. Dan saat ini, proses ketiga, rekonsolidasi, sedang menjadi fokus penelitian, yaitu memori yang sebelumnya telah terkonsolidasi dapat dibuat labil lagi, melalui reaktivasi jejak memori. Pada kejadian yang bersifat traumatik, komponen emosi, konten sensori, dan konten kognitif terikat menjadi satu, menjadi pengalaman yang tak terlupakan.

Proses fundamental dalam pembentukan memori bergantung pada neurotransmiter glutamat dan reseptor-reseptornya. Glutamat adalah asam amino eksitator yang dibutuhkan untuk setiap pembelajaran baru dan menghubungkan materi baru dengan yang telah dipelajari sebelumnya (Rainine dan Ressler, 2009). Memori traumatik dapat digambarkan sebagai jalur neuron menghubungkan reseptor-reseptor glutamat yang tercipta saat individu mengalami kejadian traumatik. Saat jalur neuron ini teraktivasi ulang oleh pemicu, individu mengalami kembali kejadian seolah-olah baru terjadi (revivifikasi). Ini dinamakan konsolidasi sinaptik. Aktivasi ulang jalur sinaptik neuron yang dikonsolidasi oleh glutamat, pada saat mengingat kembali kejadian traumatik, membuat jalur ini rentan untuk diputus (Nader, Schafe, dan LeDoux, 2000).

Traumatisasi dari Perspektif Neurosains

Proses trauma berawal dari masuknya informasi, pengalaman atau kejadian yang dialami seseorang, melalui lima indra dan masuk ke otak untuk diproses lebih lanjut menggunakan dua jalur. Jalur pertama, informasi dari mata, telinga, kulit (sentuhan), dan lidah (pengecapan) masuk ke talamus. Talamus berperan sebagai kantor pos, mendistribusi informasi ke bagian otak yang sesuai untuk memrosesnya. Bila informasi yang masuk dipersepsi sebagai ancaman maka, dari talamus, ia langsung dikirim ke amigdala. Bila informasi awal dipersepsi bukan sebagai ancaman, ia akan dikirim ke korteks untuk dianalisis. Namun bila hasil analisis korteks menyatakan bahaya, informasi ini langsung dikirim ke amigdala melalui hipokampus.

Kedua, informasi dari indra penciuman, hidung, tidak melalui talamus, namun langsung dikirim ke accessory basal nucleus (AB) amigdala, bila informasi dipersepsi sebagai ancaman, dan ke korteks untuk dianalisis, bila tidak dipersepsi sebagai ancaman. Namun bila korteks menyatakan ini adalah ancaman, informasi langsung dikirim ke amigdala, melalui hipokampus, untuk ditindaklanjuti. Bau, stimulus yang dibawa oleh angin, digunakan sebagai informasi akan keberadaan predator dan ini butuh respon cepat sehingga tidak melewati talamus.

Amigdala, khususnya bagian kanan, berperan besar dalam mengendalikan respon emosi dan fisiologis, terdiri dari beberapa wilayah yang disebutnuclei. Ada lima nucleilateral nucleus (LA), basolateral nucleus (BLA), basomedial nucleus (BM), central nucleus (CE), dan accessory basal nucleus (AB). LA, BLA, dan AB membentuk kesatuan yang disebut basolateral complex atau BLC. BLC adalah tempat di mana informasi berbahaya atau mengancam keselamatan hidup memulai proses aktivasi tindakan dan emosi (Rainine dan Ressler, 2009).

Bagian korteks yang berperan melakukan evaluasi kondisi bahaya dan berpengaruh dalam proses traumatisasi adalah medial prefrontal cortex(mPFC). Ia memiliki hubungan timbal balik dengan amigdala. Saat BLC amigdala pertama kali merasakan emosi takut, ia akan menghambat dan mencegah mPFC agar tidak mematikan respon takut. Hal ini bertujuan untuk menyiapkan tubuh dan pikiran untuk bersiap lari (flight) atau lawan (fight). Bila setelah dilakukan evaluasi oleh mPFC ternyata ancaman ini tidak benar atau signifikan maka mPFC segera mengirim sinyal inhibisi (hambatan) ke amigdala dan menekan respon takut tersebut. Dalam kondisi ketakutan atau kemarahan ekstrim, atau kondisi stres kronis, sinyal inhibisi yang dikirim oleh mPFC ini menjadi sangat lemah dan tidak lagi dapat memengaruhi amigdala.

BLC amigdala adalah tempat memroses komponen emosi dari memori, namun ia bukan tempat memori. BLC mengaktifkan CE dan wilayah otak lainnya, termasuk hipokampus dan medial prefrontal korteks (mPFC). BLC juga mengirim sinyal ke hipokampus (Strage dan Dolan, 2004), struktur penting di otak untuk proses encoding dan pengambilan kembali komponen kognitif. BLC adalah tempat di mana komponen sensori dan konteks kejadian memulai proses penggabungan/asosiasi.

Respon emosi terhadap ancaman bergantung pada BLC mengaktifkan bagian amigdala lainnya, central nucleus (CE). CE mengaktifkan dan mengkoordinir respon fisik (Tanimoto dkk, 2003) terhadap input sensori yang mengendalikan proses somatik, endokrin, dan autonomik. CE mengirim sinyal ke wilayah yang terlibat dalam fight atau flight, evaluasi bahaya, motivasi bertindak, kewaspadaan, orientasi, freeze (tubuh kaku), memori, dan persepsi sakit (Akmaev, Kalmillina, dan Sharipova, 2004).

Trauma dan Sakit Fisik

Rasa sakit fisik yang terjadi saat kejadian traumatik disimpan di memori otak. Hal ini pertama kali dijelaskan di akhir tahun 1800an oleh Charcot, Janet, Freud, dan Breuer yang meyakini bahwa stimuli dari pikiran bawah sadar dapat menyebabkan sakit di fisik dan simtom somatik lainnya. Mereka percaya bawah rasa sakit terekam bersama trauma psikologis namun terpisah dari kesadaran normal. Dengan demikian, rasa sakit hanya bisa dihilangkan bila pengalaman traumatik “dibawa naik” ke kondisi sadar normal sehingga diketahui dan diproses tuntas.

Sarno (2006) menyatakan simtom fisik muncul sebagai upaya mencegah kemarahan dan berbagai emosi negatif lain yang terekam di pikiran bawah sadar naik ke permukaan dan disadari individu. Ketidakmampuan mengekspresi emosi negatif intens bisa berasal dari rasa takut akan hukuman, perasaan tidak berdaya yang dipelajari, kebutuhan akan kendali, dan kebutuhan untuk terlihat atau tampil sebagai “orang baik”.

Bila dicermati, bagian tubuh yang sering sakit adalah punggung, leher, kepala, dan tungkai atas. Banyak juga yang mengatup rahang dan menggerinda giginya. Ini semua adalah wilayah otot yang digunakan saat marah. Sakit leher, punggung, dan sindroma sendi rahang (temporomandibular) kerap dijumpai dalam praktik klinis.

Saat seseorang mengalami trauma, misalnya tabrakan dengan mobil lain, ia tidak merasakan sakit fisik, walau sebenarnya tubuhnya, misal kepala, mengalami benturan atau luka. Ini adalah pengaruh CE amigdala. Pada CE amigdala terdapat pusat sakit yang disebut nociceptive amigdala. Di sini sinyal sakit yang berasal dari bagian otak lainnya dikelola. Pada saat invididu mengalami flight (lari), fight (lawan), atau marah, terjadi peningkatkan norepinefrin (NE) yang menghambat kerja nociceptive CE sehingga individu tidak bisa merasakan sakit.

Kejadian -> BLC -> NE meningkat -> nociceptive CE -> memengaruhi kesadaran -> sakit tidak dirasakan (tapi terekam di PBS)

Komponen somatik (fisik) dari trauma bisa berupa rasa sakit fisik, perasan terbakar, perubahan suhu tubuh, lemas tidak bertenaga, dan beragam simtom lain yang muncul di fisik.

Setelah kejadian kecelakaan dan individu mengingat atau melihat mobil yang sama atau serupa dengan mobil yang terlibat kecelakaan dengannya dulu, tiba-tiba muncul rasa sakit di kepala. Ini terjadi karena mobil, yang ia lihat atau ingat, menstimulasi BLC –> CE -> Sakit. Mobil tidak berbahaya atau mengancam sehingga batang otak tidak memproduksi norepinefrin dan individu merasa sakit, yang terekam di memorinya.

Traumatisasi dan Detraumatisasi dari Perspektif Neurosains

Merujuk pada uraian di atas maka proses traumatisasi, masuknya informasi ke otak hingga terekam sebagai memori traumatik, berlangsung sebagai berikut:  

Informasi -> talamus -> BLC amigdala -> muncul emosi takut atau marah defensif -> noerepinefrin (NE) dan kortisol di amigdala meningkat   -> Inhibisi mPFC -> informasi masuk ke amigdala -> lima syarat trauma terpenuhi -> reseptor glutamat di BLC amigdala terpotensiasi -> BLC mengikat komponen-komponen kejadian -> memori traumatik tercipta dan terekam di otak.

Potensiasi adalah meningkatnya jumlah dan kekuatan respon pascasinaptik yang diakibatkan oleh glutamat. Sinapsis, titik temu antara terminal akson salah satu neuron dengan neuron lain, yang berhubungan dengan memori traumatik, yang ditemukan di BLC memiliki jumlah reseptor glutamat lebih banyak dari kondisi normal. Terapi paparan membuka reseptor-reseptor glutamat ini dan membuat jejak memori menjadi labil dan mudah dinetralisir (Rasolkhani-Kalhorn dan Harper, 2006).

Memori traumatik diaktifkan kembali oleh reseptor gulatamat overpotensiasi, alpha-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolproprioninc (AMPA) (Harper dkk, 2009). Depotensiasi terjadi melalui reseptor-reseptor glutamat ini, bisa menggunakan beragam teknik salah satunya hipnoterapi klinis, menghilangkan reseptor aktif AMPA, mencegah neuron menumbuhkembangkan memori traumatik dan komponen-komponennya (Ronald, 2014)

Mengacu pada model di atas, untuk dapat menetralisir atau menyembuhkan memori traumatik, langkah pertama adalah mengaktifkan kembali memori ini, secara sadar atau sengaja, dengan cara mengingat kembali kejadiannya. Konten memori yang telah aktif ini akan masuk ke memori kerja dan selanjutnya mengaktifkan BLC amigdala. Aktivasi ini berhubungan dengan pelepasan glutamat di jalur khusus neuron BLC saat kejadian traumatik terekam (encoding) di memori otak. Proses penyembuhan trauma adalah dengan decoding, yaitu membalik proses encoding sehingga mencegah BLC mengirim sinyal ke CE, yang akan mengaktifkan locus coeruleus, di batang otak, menghasilkan norepinefrin untuk menyiapkan pikiran menghadapi kondisi genting, dan wilayah otak lain di mana komponen memori lainnya tersimpan.

Mengaktifkan memori adalah satu hal. Langkah selanjutnya, yang menjadi kunci penyembuhan trauma adalah menetralisir emosi pada kejadian paling awal. Tanpa menghilangkan emosi, yang adalah salah satu komponen penting trauma, klien akan kambuh dan simtom muncul kembali bisa dalam bentuk yang sama atau lain (Sarno, 2006).

Simtom trauma sejatinya tidak disebabkan oleh kejadian pemicu. Simtom bersumber dari residu energi yang terperangkap dalam sistem saraf dan sangat menganggu keseimbangan serta kesejahteraan tubuh dan pikiran. Residu ini terjadi karena individu tidak dapat menyelesaikan proses melewati atau keluar dari kondisi tak berdaya saat mengalami kejadian (Levine, 1997).

Dari dua pendapat di atas, Sarno (2006) dan Levine (1997), jelas sekali bahwa dalam proses detraumatisasi sangat penting menetralisir emosi yang lekat pada memori. Dan memori yang perlu diaktifkan, agar proses detraumatisasi dapat tuntas dilakukan, adalah memori paling awal (Ronald, 2014).

Proses detraumatisasi dengan hipnoterapsi klinis dari perspektif neurosains:

Aktivasi komponen emosi dari kejadian traumatik -> memori kerja -> hipokampus -> aktivasi reseptor BLC glutamat di amigdala -> restrukturisasi kejadian dengan hipnoterapsi klinis -> serotonin meningkat -> GABA meningkat -> depotensiasi reseptor glutamat di BLC -> keluaran amigdala menurun -> komponen emosi pada kejadian dinetralisir -> Trauma sembuh.

Kadar serotonin, sebagai neuromodulator, berkaitan erat dengan ketahanan seseorang terhadap trauma. Bila kadar serotonin meningkat, daya tahan terhadap trauma juga meningkat. Demikian pula sebaliknya. Bila kadarnya rendah, seseorang menjadi rentan terhadap trauma. Sementara GABA (gamma-aminobutyric acid) adalah asam amino inhibitor (penghambat) neuron lain dan bekerja berlawanan dengan glutamat.

Proses Hipnoterapi Klinis

Dari uraian di atas tampak bahwa proses hipnoterapi klinis memengaruhi dan mengakibatkan terjadinya depotensiasi reseptor glutamat di BLC. Tapi, bagaimana caranya?

Dalam hipnoterapi klinis, terapis membimbing klien untuk melakukan aktivasi komponen emosi dari kejadian traumatik dengan meminta klien mengingat dan merasakan kembali kejadian beserta emosinya. Informasi ini masuk ke memori kerja untuk diproses. Selanjutnya terapis menuntun klien menemukan awal mula kejadian pertama yang menjadi akar masalah klien, menggunakan teknik yang sesuai. Kejadian paling awal disebutinitial sensitizing event (ISE). Di ISE akan dilakukan pengurasan emosi, bila terdapat emosi intens, hingga benar-benar tuntas, dan dilanjutkan dengan restrukturisasi kejadian dengan teknik partial atau complete rewriting history (Gunawan, 2017).

Bila rangkaian kejadian mengikuti alur normal maka saat klien mengalami revivifikasi, lima komponen trauma kembali muncul: kejadian, makna, kondisi senyawa kimiawi otak, perasaan terperangkap, dan perasaan tidak berdaya. Dalam proses hipnoterapi klinis dilakukan intervensi pada kelima komponen ini.

Klien mengalami kejadian yang sama namun dengan beberapa perubahan pada komponen atau alur cerita. Klien dituntun untuk memberi makna baru pada kejadian yang ia alami. Senyawa kimiawi otak tentu juga berbeda karena klien menjalani proses hipnoterapi dalam kondisi hipnosis dalam. Klien juga disiapkan untuk mengalami kejadian, dengan teknik tertentu skenario diatur sedemikian rupa sehingga ia tahu di depan apa yang akan terjadi, dan ini membuat klien tidak merasa terperangkap dalam situasi itu. Dan yang terutama, dalam diri klien tidak muncul perasaan tidak berdaya karena ego strength-nya telah mengalami penguatan.

Bila trauma telah berhasil diatasi, klien menjadi tenang, rileks, dan saat diminta mengingat kembali kejadiannya, bisa terjadi salah satu dari lima kemungkinan berikut:

  1. Klien bisa mengingat kejadian dengan jelas namun perasaannya datar, tidak lagi merasakan emosi negatif yang sebelumnya sangat mengganggu dirinya.
  2. Klien sulit atau tidak bisa mengingat kejadian.
  3. Klien bisa mengingat namun kejadiannya kabur dan tidak lengkap, muncul hanya sepotong-sepotong.
  4. Klien bisa mengingat kembali namun ia melihat kejadian itu dari kejauhan, sebagai pengamat atau disosiatif.
  5. Klien bisa mengingat kejadian. Namun peristiwa inti yang sebelumnya menyebabkan trauma menjadi kabur atau tidak ada, yang ada hanyalah detil peristiwa atau situasi yang berada di sekitar peristiwa inti.

(Sumber: adiwgunawan.com)

Penyakit Autoimun dan Hipnoterapi

Penyakit Autoimun dan Hipnoterapi

22 Mei 2019

Oleh: Dr. Dr. Adi W. Gunawan, ST., MPd., CCH ®.

Penyakit autoimun hingga saat ini masih menjadi momok karena penyebabnya belum diketahui dan sulit disembuhkan. Yang kita ketahui adalah penyakit ini terjadi karena imun sistem yang seharusnya berfungsi mengenali dan menghancurkan benda asing, yang masuk ke dalam tubuh, yang dapat menyebabkan sakit seperti bakteri, virus, atau jamur patogen, ternyata menyerang sel atau jaringan tubuh sehat. Serangan ini mengakibatkan peradangan dan penyakit autoimun. Apa yang memicu imun sistem hingga menyerang sel atau jaringan tubuh hingga kini masih belum diketahui secara pasti. Dalam literatur disebutkan bahwa ada beberapa faktor yang besar kemungkinan menyebabkan terjadi penyakit autoimun yaitu terpapar bahan atau zat tertentu seperti merkuri, faktor keturunan, dan perubahan hormon. 

Berikut ini adalah beberapa penyakit yang teridentifikasi melibatkan mekanisme autoimun: acute rheumatic fever, Addison’s disease, ankylosing spondylitis, antiphospholipid syndrome, autoimmune alopecia, autoimmune hemolytic anemia, autoimmune polyglandular syndrome, autoimmune thrombocytopenic purpura, Behcet’s syndrome, celiac disease atau sprue, chronic fatigue immune dysfunction syndrome, dermatitis herpetiformis, dermatomyositis, diabetes mellitus type I, diffuse scleroderma, fibromyalgia syndrome, Goodpasture’s syndrome, Graves’ disease, Guillain-Barre syndrome, Hashimoto’s thyroiditis, Henoch-Schonlein purpura, autoimmune hepatitis, immune-mediated infertility, insulin-resistant diabetes mellitus, lupus erythematosus, microscopic polyangiitis, multiple sclerosis, myasthenia gravis, pemphigus foliaceus, pemphigus vulgaris, pernicious anemia, polyarteritis nodosa, polymyalgia rheumatica, polymyositis/dermatomyositis, psoriasis, psoriatic arthritis, Reiter’syndrome, relapsing polychondritis, rheumatoid arthritis, Sjogren’s syndrome, stiff-man syndrome, sympathetic ophthalmia, systemic lupus erythematosus, systemic necrotizing vasculitis, vitiligo, and Wegener’s granulomatosis. 

Dari sekian banyak penyakit autoimun di atas, yang paling sering dijumpai adalah rheumatoid arthritissystemic lupus erythematosus, diabetes tipe 1, multiple sclerosis (MS), Graves’ disease, dan psoriasis. 

Penyakit autoimun memiliki ciri khas berupa pola hilang-kambuh. Saat penyakit autoimun pertama kali dialami, banyak penderita mengalami remisi spontan dan sakitnya reda atau hilang dengan sendirinya. Tujuan dari semua upaya pengobatan saat ini adalah untuk menyingkat fase akut dan mengurangi intensitas inflamasi dan simtom yang muncul pada fase akut penyakit ini. Tujuan pertama pengobatan adalah untuk secepat mungkin membawa klien masuk ke tahap remisi sepenuhnya. Tujuan kedua pengobatan adalah untuk mempertahankan pasien pada kondisi remisi selama mungkin, idealnya seumur hidup mereka. 

Informasi penting dan menarik dari bidang psikoneuroimunologi sangat layak diperhatikan untuk memahami penyakit autoimun. Menurut psikoneuroimunologi, sistem saraf pusat dan imun sistem saling berkomunikasi secara teratur dan rutin. Di tahun 1970an, psikolog Robert Ader dan rekan sejawatnya, ahli imunologi Nicholas Cohen, keduanya dari University of Rochester School of Medicine, melakukan percobaan menggunakan tikus, berhasil menunjukkan bahwa respon imun sistem dapat dikondisikan (Ader dan Cohen, 1975). Selanjutnya, Ader dan Cohen (1981, 1982, 1985) memelajari sekelompok tikus yang mengalami lupus erythematosus. Ader mampu mengkondisikan tikus-tikus ini dan menurunkan keagresifan imun sistem mereka terhadap sel-sel tubuhnya sendiri, sehingga terjadi pengurangan inflamasi akut lupus secara signifikan.

Beberapa tahun kemudian, Olness dan Ader (1992) menggunakan model yang sama, berhasil membantu seorang anak perempuan penderita lupus, mengkondisikan imun sistemnya sehingga mengurangi jumlah kemoterapi yang semula direncanakan 12 kali turun menjadi hanya 6 kali, mencapai hasil pengobatan yang sangat baik dan bertahan lebih dari lima tahun.

Ader (2000) menyimpulkan bahwa sistem saraf pusat memengaruhi fungsi imun sistem. Sementara Dantzer (2001) dan Volmer-Conna (2001) menyatakan perilaku sakit yang berhubungan dengan infeksi akut sebenarnya adalah hasil dari komunikasi antara imun sistem dan otak, yang sebenarnya bersifat adaptif untuk kesembuhan dan keselamatan individu. 

Otak terhubung dengan imun sistem melalui jalur limbic-hypnothalamic-pituitary. Otak memengaruhi imun sistem dengan mengeluarkan neurotransmitter dan hormon yang mengaktifkan reseptor spesifik pada permukaan limfosit T dan B. Hal ini mengaktifkan mekanisme intraseluler tertentu yang dapat menekan atau meningkatkan kinerja imun sistem. Molekul spesifik yang disekresi oleh sistem saraf pusat untuk memengaruhi imun sistem disebut neuroimmunotransmitter.Imun sistem dan sistem saraf adalah satu kesatuan dengan tujuan bersama untuk menjaga dan memelihara identitas diri organisme hidup (Booth dan Ashbridge, 1993).

Membantu Penderita Autoimun dengan Hipnoterapi

Penelitian pengaruh pikiran dan emosi terhadap imun sistem diawali oleh George F. Solomon dari Stanford University, orang Amerika pertama yang memelajari interaksi antara pikiran dan imun sistem. Solomon di tahun 1960an mengobati pasien-pasien penderita rheumatoid arthritis dan ia mengamati para pasien ini kambuh saat mengalami stres. Ia berhipotesis bahwa imun sistem, melalui mekanisme yang belum diketahui saat itu, terpicu untuk menyerang sendi-sendi para pasien ini pada saat mereka mengalami stres. Ia selanjutnya mengajukan hipotesis bahwa imun sistem pasti sangat sensitif terhadap stres dan responsif pada emosi dan pikiran (Solomon dan Moss, 1964; Solomon, Levine, dan Kraft, 1968; Solomon, Amkraut, dan Kasper, 1974; Solomon,1981).

Dari hasil penelitian diketahui bahwa imun sistem dipengaruhi oleh emosi yang dialami seseorang, baik emosi positif maupun negatif. Pengalaman hidup yang melibatkan emosi negatif seperti kesedihan mendalam, marah, terluka, persaan bersalah, dan depresi memengaruhi secara negatif dan menekan kinerja imum sistem dalam melawan bateri, virus, atau jamur pagoten (Ipsa, Devi, dan Ravindra, 2014; Kiecolt-Glaser dan Glaser, 2002). Sementara hal-hal seperti optimisme, kegembiraan, kebahagiaan, tawa-canda, nutrisi yang sesuai, cukup tidur, dan manajemen stres yan baik efektif meningkatkan fungsi dan kinerja imun sistem seperti yang dinyatakan oleh Cousins (1976), Rossi (1993), Dreher (1995), Ravics (2000), Carhnetski dan Brenman (2001), Klasing (2007), dan Lange, Dimitrov dan Born (2010).

Earnest Rossi (1986, 1990, 1993; Rossi dan Cheek, 1998) melaporkan bahwa pikiran dan imun sistem berkomunikasi melalui beragam mekanisme, dan penggunaan hipnosis dapat membantu memulihkan kondisi penderita penyakit autoimun. Menurut Rossi, saat penderita masuk ke kondisi hipnosis, mereka dapat berkomunikasi dengan pikiran bawah sadar dan berbicara langsung kepada jaringan dan sel-sel tubuh melalui bahasa gambaran mental yang melibatkan ke lima indra.

Penurunan tingkat keparahan serangan akut penyakit autoimun dan peningkatan remisi dapat dicapai melalui hipnoterapi, yaitu dengan dengan mengurangi konflik emosi intrapsikis yang berhubungan dengan masalah kesehatan atau sakit (Cheek dan LeCron,1968).

Ada banyak teknik hipnoterapi hipnoterapi yang bisa digunakan untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan klien. Teknik apapun yang mampu melakukan hal ini, juga dapat memberi kontribusi positif bagi regulasi positif imun sistem (Bowers dan Kelly, 1979). Sementara menurut Achterberg, McGraw dan Lawis (1981), pelatihan relaksasi dan praktik teratur relaksasi otot memiliki efek profilaktik dalam menunda dan besar kemungkinan bisa mencegah kambuhnya simtom rheumatoid arthritis.

Penelitian yang dilakukan Laidlaw, Booth, dan Large (1996) menunjukkan bahwa 32 dari 38 partisipan penelitian mampu mengurangi ukuran kulit yang memerah setelah menerima sugesti. Kiecolt-Glaser dan rekan sejawatnya (Kiecolt-Glaser, Marucha, Atkinson dan Glaser, 2001) menyatakan hipnosis dapat digunakan sebagai modulator disregulasi selular imun sistem. Brigham-Davis (1994) melaporkan bahwa gambaran mental dapat digunakan dan memberi efek terapeutik pada penderita systemic lupus erythematosus, scleroderma, reumathoid arthritis, multiple sclerosis, amyotrophic lateral sclerosis, chronic fatique, immune dysfuntion syndrome, fibromyalgia, dan myasthenia gravis.Strategi yang digunakan Brigham-Davis yaitu membantu klien memandang imun sistem sebagai sahabat yang mengasihi dan melindungi tubuh mereka. Brigham-Davis menekankan pentingnya keseimbangan antara sel T helper dan Tsuppressor agar imun sistem dapat berfungsi optimal.

Rasa sakit dan tidak nyaman yang disebabkan oleh penyakit autoimun juga dapat dikurangi dengan hipnoterapi dengan hasil yang baik sesuai laporan dari Van Pelt (1961), Millikin (1964), Crasilneck dan Hall (1975), Smith dan Balaban (1983) dan Torem (2007).

Berikut ini adalah teknik yang bisa digunakan dalam hipnoterapi untuk membantu penderita autoimun: relaksasi pikiran dan tubuh (mind-body relaxation), pemberian sugesti, penguatan ego (ego strengthening), ego state therapy, pemberi label baru (relabeling),  pemaknaan ulang (reframing), restrukturisasi, “kembali dari masa depan”, dan metafora terapeutik dengan gambaran mental simbolik terbimbing (Torem, 1987, 1992a, 1992b, 1993, 2007).

Penyakit Autoimun yang Pernah Kami Tangani

Dari perspektif ilmu pikiran, sangat erat keterkaitan antara pikiran, emosi, dan tubuh. Emosi, menurut hukum pikiran, selalu butuh ekspresi. Ekspresi ini bisa ke arah luar dalam bentuk ucapan atau tindakan. Atau bila emosi direpresi, tidak bisa keluar, maka ia akan diekspresi melalui organ, dalam bentuk sakit fisik. 

Bila sampai terjadi sakit fisik karena ekspresi emosi yang direpresi maka solusinya adalah mengeluarkan emosi ini dari sistem psikis, mengekspresikannya ke luar, dengan teknik atau cara yang tepat dan aman, sehingga tidak lagi mengganggu kesehatan. 

Kami pernah menangani klien penderita myasthenia gravis, fibromyalgia, psoriasis, ankylosing spondylitis ,dan lupus erythematosus. Walau gejala penyakit autoimun ini berbeda satu dengan yang lain, secara teknis terapi sebenarnya sama. Penyakit autoimun, dalam pemahaman kami, hipnoterapi klinis AWGI, adalah simtom yang diungkap oleh pikiran bawah sadar (PBS) dalam upaya menyampaikan pesan spesifik ke pikiran sadar. Akar masalah simtom ini, antara lain, bisa karena PBS menghukum individu atas kesalahan yang individu lakukan, bisa karena emosi negatif yang direpresi hingga akhirnya menumpuk di PBS dan diekspresikan melalui organ atau fisik, bisa karena perasaan bersalah, sugesti atau imprint dari figur otoritas, identifikasi, atausecondary gain.

Pada kasus myasthenia gravis, PBS klien memunculkan simtom dengan tujuan agar suami memberi perhatian pada klien. Rupanya klien merasa kurang mendapat perhatian dari suaminya. Dan yang menarik adalah saat terapis bertanya pada PBS klien dari mana PBS mendapat ide untuk memunculkanmyasthenia gravis dan mengapa bukan sakit lain, dengan lugas PBS menjawab bahwa ide ini ia dapat saat klien melakukan pemeriksaan darah di laboratorium. Saat itu klien membaca brosur tentang myasthenia gravis. Dan PBS klien mendapat ide untuk memunculkan simtom ini dalam diri klien agar suami lebih sayang dan perhatian.

Melalui proses hipnoterapi, terapis melakukan edukasi pada PBS klien dan akhirnya PBS setuju untuk menghilangkan simtom ini dan hingga saat ini klien terbebas dari simtom myasthenia gravis. 

Apakah klien sembuh? Kami, hipnoterapis klinis, tidak dalam posisi menyatakan demikian, karena ini adalah ranah medis. Yang bisa menentukan klien sembuh atau tidak adalah dokter. Kami hanya membantu menangani emosi atau program pikiran yang menyebabkan munculnya simtom. Dalam penanganan sakit fisik, prinsip yang kami, hipnoterapis AWGI, pegang teguh adalah hipnoterapi adalah terapi komplementer. Yang utama selalu adalah pengobatan yang dilakukan oleh dokter.

(Sumber: adiwgunawan.com)

 

Trauma Masa Kecil dan Gangguan Mental

Trauma Masa Kecil dan Gangguan Mental

22 Mei 2019

Oleh: Dr. Dr. Adi W. Gunawan, ST., MPd., CCH ®.

Teori yang berkembang mengenai sakit mental menyatakan bahwa sebagian besar sakit mental disebabkan oleh faktor genetik dan cacat biologis. Ada dua komponen utama yang menyebabkan seseorang bermasalah yaitu faktor biologis dan pengasuhan. Selama ini fokus lebih banyak diberikan untuk menemukan faktor biologis yang mengakibatkan sakit mental. Bremner (2002) menyatakan hal menarik yang sangat perlu disimak: Tiga puluh tahun sejak dimulainya revolusi biologis dalam psikiatri, sampai saat ini masih belum ditemukan gen skizofrenia atau mania.

Hasil penelitian mutakhir menunjukkan data dan temuan penting yang sangat perlu kita cermati dengan serius. Berbagai penelitian ini mengemukakan adanya keterhubungan yang erat dan signifikan antara trauma masa kecil, gangguan atau kerusakan pada wilayah otak tertentu, dan gangguan mental.

Di awal kehidupan otak manusia sangat sensitif dan mudah dipengaruhi oleh pengalaman baik yang positif (pengasuhan yang sehat) dan pengalaman negatif (kekerasan dan pengabaian). Trauma berulang pada anak berakibat sangat buruk terhadap kemampuan anak dalam berpikir, merasa, berelasi dan berfungsi baik di masa sekarang maupun di masa mendatang. Dari hasil penelitian diketahui bahwa semakin banyak trauma yang dialami anak semakin besar kemungkinan mereka mengalami sakit mental di kemudian hari.

Perkembangan dan pertumbuhan otak anak dipengaruhi oleh interaksi antara orangtua dan anak. Siegel (1999) mengatakan bahwa pikiran manusia berkembang melalui pola-pola dalam aliran energi dan informasi di dalam otak (anak) dan di antara otak (orangtua dan anak).

Schore (1994) menyatakan pentingnya relasi antara orangtua / pengasuh utama dan anak dalam konteks mengendalikan, menenangkan, dan memengaruhi secara positif kondisi emosi bayi/anak di masa kritis pertumbuhan mereka sampai saat anak mampu mengendalikan diri sendiri.

Masih menurut Schore bila relasi ini gagal, orangtua atau pengasuh tidak mampu menjalankan fungsinya dengan baik, dalam konteks mendukung regulasi emosi anak, maka akan berakibat perkembangan otak dan psikis yang buruk dan menjadi sumber berbagai masalah gangguan mental di masa mendatang.

Sejak tahun 1980 hingga saat ini terdapat lebih dari tiga ratus studi klinis yang menunjukkan hubungan erat antara trauma masa kecil yang berulang dan penyakit mental yang muncul kemudian – seringkali puluhan tahun kemudian.  

Berdasar hasil penelitian mendalam sejak tahun 1991 para peneliti telah menemukan hubungan antara trauma masa kecil dan kondisi otak abnormal. Trauma masa kecil menyebabkan kerusakan otak dan selanjutnya mengakibatkan sakit mental.

Anak yang dibesarkan dalam keluarga yang sehat belajar menjadi tenang dan mencerap pola perilaku kondusif yang ditunjukkan oleh pengasuhnya. Situasi lingkungan yang mendukung ini sangat baik untuk perkembangan otak dan sistem saraf sehingga mampu mngatasi kondisi stres normal yang biasa dialami anak.

Saat anak bertemu dengan situasi yang menimbulkan stres, sistem saraf simpatiknya secara otomatis mengaktifkan respon lawan atau lari. Saat stres berhasil ditangani dengan baik, otak yang berkembang optimal akan mengembalikan anak ke kondisi tenang dan rileks.

Namun bila anak berulang kali mengalami kekerasan (abuse) baik secara fisik atau psikis, dan pengabaian (neglect), otak dan sistem sarafnya akan mengalami gangguan dan kerusakan hingga taraf tertentu. Akumulasi data dari penelitian terkini menunjukkan bahwa trauma berulang yang dialami bayi atau anak kecil mengakibatkan kerusakan pada pre-frontal cortex (bagian otak yang melakukan fungsi eksekutif seperti berpikir, fokus, menimbang, kendali perilaku dan menenangkan diri),  corpus callosum (kumpulan serat penghubung kedua hemisfir otak), hippocampus (bagian otak yang menangani pembelajaran, memori, dan keseimbangan emosi), amygdala (bagianotak yang menangani pemrosesan dan keseimbangan emosi), cerebellar vermis (membantu menenangkan sistem limbik yang terlalu aktif), HPA axis (poros hypothalamus-pituitary-adrenal, yang merupakan sistem hormon utama tubuh), sistem serotonin/dopamine/GABA, dan sistem saraf simpatik. 

Selain mengakibatkan gangguan dan kerusakan otak, trauma masa kecil yang berulang dapat mengganggu sistem hormon dan senyawa kimiawi otak (neurotransmitter). Hingga saat ini terdapat tujuh belas penelitian yang dilakukan pada lebih dari 1.375 anak yang menunjukkan kerusakan pada fungsi HPA axis mereka akibat trauma masa kecil.

Efek lain yang diakibatkan oleh trauma masa kecil adalah berkurangnya fungsi saraf bertahun kemudian, berkurangnya kecakapan verbal dan performa, dan juga IQ, berkurangnya perkembangan mental (personal, sosial, dan motor), EEG abnormal, kejang, depresi, dan penyalahgunaan zat (substance abuse).

Trauma yang biasa dialami anak di masa kecil dan berlanjut hingga masa remaja yang berakibat sangat buruk terhadap masa depannya, antara lain:

  • anak tidak diinginkan, karena kehamilan yang terjadi di luar kehendak atau rencana, baik oleh salah satu atau kedua orangtuanya.
  • anak pernah mau digugurkan, baik masih dalam pikiran orangtua atau sudah pernah dilakukan upaya pengguguran namun gagal.
  • salah satu atau kedua orangtua menolak anak karena berjenis kelamin tidak seperti yang diharapkan atau diinginkan.
  • saat dalam kandungan ibu kedua orangtua sering ribut atau bertengkar.
  • ibu mengalami tekanan mental dan emosi yang intens saat mengandung.
  • anak diabaikan oleh orangtua, baik secara fisik maupun emosi.
  • anak mengalami kekerasan fisik.
  • anak mengalami kekerasan emosi.
  • pelecehan seksual.
  • trauma karena sekolah (misal: beban pelajaran, perundungan (bullying) yang tidak mendapat penanganan segera dan terselesaikan.
  • kecemasan konstan yang berasal dari orangtua pencemas dan bermasalah.
  • dll.

Saat anak mengalami trauma dan kondisi emosi negatif dan tidak ada orangtua atau pengasuh yang mendukung dan menenangkannya maka kondisi ini memengaruhi bagaimana jaringan di otaknya terbentuk.

Anak ADD/ADHD tidak memiliki kontrol diri yang baik karena wilayah otak sebelah kiri depan (prefrontal cortex), yang berfungsi sebagai "rem" dan pengendali tidak bekerja (optimal) karena trauma.

Depresi dan Atrofi Otak

Para peneliti telah menemukan ketidaknormalan pada struktur, senyawa kimiawi, dan fungsi otak para penderita beberapa jenis gangguan mental seperti depresi, adiksi alkohol, dan skizofrenia. Dengan menggunakan teknologi terkini seperti MRI (magnetic resonance imaging), PET (positron emission tomography), dan spectroscopy para peneliti independen mengamati beragam kelompok orang yang mengalami depresi dan menemukan atrofi signifikan pada wilayah otak tertentu.

Wilayah otak yang mengalami atrofi (berkurang dalam ukuran atau volume) meliputi: frontal lobesorbital frontal lobes, subgenual frontal lobes, caudate nucleus, hippocampus, dan amygdala.  

Wilayah-wilayah otak yang dijelaskan di atas semuanya saling terhubung dan terlibat dalam respon stres Stres kronis mengakibatkan level cortisol meningkat signifikan dan mengakibatkan kerusakan pada hippocampus, memori verbal, dan kemampuan berpikir.

Informasi dan temuan ini menunjukkan bahwa atrofi pada wilayah otak yang spesifik secara signifikan berhubungan dengan atau mungkin bahkan sebagai penyebab depresi.

Dalam beberapa penelitian secara khusus dilakukan penelusuran dengan meneliti riwayat hidup subjek penelitian dan ditemukan adanya hubungan yang kuat antara trauma masa kecil dan atrofi otak dan depresi.

(Sumber: adiwgunawan.com)